KetikPos.com, Palembang —Gedung Kesenian Palembang malam itu seperti kembali berdenyut. Lampu-lampu remang berpendar di antara deretan kursi tua, dan aroma kapur panggung berpadu dengan wangi cuko yang masih melekat dari sore.
Di sanalah, Dewan Kesenian Palembang (DKP) menggelar Peringatan Sumpah Pemuda — bukan sekadar seremonial, tapi perayaan kata dan makna, dari “Ikrar Itu” hingga “Mati Muda.”
Baca Juga: Dari Panggung Seni untuk Negeri: Sumpah Pemuda di Gedung Kesenian Palembang Menyalakan Api Persatuan dan Budaya
Acara ini bukan hanya menyajikan musikalisasi puisi, tari kreasi, dan lagu-lagu motivasi, tapi juga menghadirkan pembacaan puisi oleh para seniman, budayawan, akademisi, hingga pejabat publik.
Mereka membawa semangat 1928 dalam cara paling tulus: lewat kata.
"Puisi IKRAR ITU”
Karya: Vebri Al Lintani
puisi ikrar itu lahir pada 1928
berwatak persatuan
dibina di atas keberagaman suku, bahasa dan agama
puisi ikrar itu menjadi mantera perjuangan
dirajut dari rasa cinta, solidaritas dan toleransi
hingga mencapai kemerdekaan
puisi ikrar itu telah membakar semangat pemuda
hingga rela berkorban harta, darah ataupun nyawa
puisi ikrar itu selalu kita rapalkan
meski para politisi saling menggunting
para rakyat saling menggunjing dalam media sosial
puisi ikrar itu selalu mendapat tantangan
pada setiap perubahan zaman
tantangan dari para penjarah yang tak peduli akan pecah belah
puisi ikrar itu memang sakti
tertanam dalam sanubari
namun menjadi tak berarti
bila pekerti tidak diperhati
puisi ikrar itu marilah kita amalkan lagi
tetapi bukan untuk berasua uang negara
atau menguras kekayaan alam secara jahat
sebagaimana jamak terjadi sekarang ini
Palembang, Juli 2025
Puisi ini dibacakan oleh sang penulis sendiri, Vebri Al Lintani, membuka malam dengan refleksi yang hangat namun menggigit.
Ia menegaskan bahwa ikrar pemuda bukan sekadar kenangan, melainkan “mantera perjuangan” yang harus terus diamalkan di tengah zaman yang gaduh
.
Puisi “SUMPAH SERAPAH”
Karya: Anto Narasoma
aku bersumpah
dengan nyawaku
dengan hakikat bangsa yang terjajah, setelah
harkat kehidupan bangsaku kau lempar
ke kubangan sampah
maka penghinaan
yang bertahun-tahun menumpuk di atas kewibawaan bangsaku
pun membara dalam api perlawanan yang mendidih tanpa ampun
tak ada senjata api
tak ada mortir dan bom sulfur.
hanya bambu yang kurancut sebagai perlawanan terakhir
maka,
inilah darah
yang kusampaikan lewat perlawanan membara
setelah kucatat dengan merah putih benderaku
maka,
ribuan nyawa
sudah kuberondong
setelah harga diri bangsaku, kau injak-injak
lewat cengkraman penjajahan yang membodohkan
o, meski setajam
pisau silet, tapi sumpah kami tetap akan memenggal pikiran
yang menjajah negeri ini
bagi penjajah ekonomi
yang menimbun kekayaan lewat tangan-tangan kotor,
kalian akan kucincang dengan tulisan panjang
yang melemparkan kalian ke liang-liang kematian
sebab,
sumpah pemuda yang membara akan terus memburu para penjajah
yang merampok kekayaan rakyat negeriku
ini bukan pistol atau senjata laras panjang
tapi tiap kata yang kujajarkan sebagai kalimat panjang,
akan meluluhlantakkan posisi kalian para penjajah
sebab,
sumpah pemuda yang kami kobarkan,
akan terus membara
dan membakar para penjajah yang berbusana maling uang rakyat.
ingat,
sumpah pemuda
bukan buku komik
bukan cerpen sedih yang menguras air mata
bukan pula novel yang digagas ke dalam cerita panggung
sumpah kami
akan terus mengejar
penjajah berkulit putih
akan terus berperang
dengan penjajah politik, kebijakan pemerintahan
serta para perampok yang menyeringai diborgol
kekacauan niat buruk para koruptor!
Palembang, 30 Oktober 2025
Dengan nada lantang dan napas yang membara, Anto Narasoma membuat hadirin bergeming.
Puisi ini seperti ledakan amarah rakyat yang menolak dijajah lagi — kali ini bukan oleh bangsa lain, melainkan oleh kerakusan sendiri.
Puisi “GURU YANG PENSIUN”
Karya: Indah Rizki Ariani Mujyaer