Selamat malam anak muridku,
Jangan pernah sebut kami bapak dan ibu guru,
Sebab kami tak pantas untuk ditiru,
Kotak bekal rantang kami usang berisi
indomie dan nasi
Biarlah papan tulis saja yang menjadi saksi
Kapur putih selalu mengotori kerah dan baju
membuat badan kami tak pernah wangi,
Sepatu robek yang kami pakai tak pernah ganti,
sebab kami berlari mengejar embun
agar dapat mengajar tepat waktu
Kami menantimu di pintu kelas dengan senyum terkembang
Tanpa kau perlu tahu, apa yang kami makan tadi malam?
Atap rumah kelantang kelinting dijatuhi air hujan
Kami tidur dalam dingin,
Terimpit bersama dalam ranjang yang peyot
Kami hirup udara debu, dengan bayang bayang semu
Kapan kami bisa gajian tepat waktu?
Namun Kami akan selalu sabar ketika mengajar,
Meski, di malam yang sepi, kami sering berbicara pada bayang bayang diri,
Apakah kami gagal mengajarkan budi?
Ataukah kami gagal mengabdi?
Ataukah justru anak anak bangsa tak lagi memiliki nurani?
Kami tahu, Ayah dan Ibu mu sungguh menyayangimu,
Hingga tak boleh kami pegang rambutmu yang sudah panjang,
padahal ini sebab kami tak ingin rambutmu bisa mengganggu konsentrasi
Kami tahu, Ayah dan Ibu mu sungguh menyayangimu,
Hingga tak boleh kami menempeleng mulutmu yang penuh abu
Padahal Kami tak ingin rokoknya nanti membuat jantungmu terbakar
Kami tahu, Ayah dan Ibu mu sungguh menyayangimu
Hingga tak boleh kami marah jika kau tak bisa beretika,
Jika kau tak paham dengan adab dan tata krama
Jika kau tak bisa menulis dan membaca
Jika kau tak pernah upacara karena lelah
Sedikit sedikit kau mengadu
Lalu ibumu datang dengan jiwa menggebu
memukul jiwa kami, melukai hati kamu,
Melucuti kami dengan kata kata dari mulutnya yang parau
mengobrak abrik sistem sekolah dengan amarah dan emosi yang membara
Namun besok pagi, kami tetap datang.
Meski dengan seragam kuning kaki yang sudah kusam
Kami percaya bahwa mendidik adalah ibadah
Meski dunia telah lupa berdoa
Kami tak boleh Lupa bahwa kami adalah pelita
Yang harus membuatmu terang menderang
Anak muridku,
bila suatu hari nanti kami tiada,
takkan ada berita dan takkan ada upacara.
Hanya papan tulis yang masih menyimpan sisa goresan kenangan indah untuk kau ingat,
Kami tak perlu cinta seorang guru ini dibalas,
Namun kami menanti kesuksesanmu di masa depan nanti.
Lupakan saja kami di persimpangan sejarah.
Biar saja hanya langit yang tahu,
bahwa ada satu manusia yang hidup sepenuhnya untuk memberi,
meski kami harus mati dalam sunyi nan suci.
Baca Juga: Semangat Sumpah Pemuda Menyala di Sumatera Selatan: Dari Api Sejarah Menuju Obor Masa Depan
Dibacakan dengan lirih namun kuat, puisi ini membuat sebagian hadirin meneteskan air mata.
Indah Rizki Ariani Mujyaer yang juga selebgram membuktikan bahwa kejujuran bisa lebih menyentuh daripada retorika.
Puisi “SATU SUARA DI TEPIAN MUSI”
Karya: Dr. Hendra Sudrajat, S.H., M.H., Adv.
Di tepian Musi yang tenang mengalir,
Kisah Sriwijaya berlayar tak berakhir.
Dari hulu Ogan hingga ilir nan megah,
Terukir sejarah dalam tiap helah napas tanah.
Anak Palembang berjiwa teduh,
Bertulang baja, berhati lembut penuh.
Berdiri tegak menatap fajar,
Mewarisi keberanian leluhur yang besar.
Kami pemuda, satu tanah air!
Walau lahir di tanah yang luas berhampar,
Kami satu nusa, satu darah, satu aliran,
Seperti Musi menyatukan daratan dan kehidupan.
Kami pemuda, satu bangsa!
Darah Melayu, Bugis, Jawa, Batak, Minang, dan Bali,
Bercampur bukan untuk memisahkan diri—
Tapi menenun Bumi Nusantara jadi satu ikrar yang suci.
Kami pemuda, satu bahasa!
Bahasa yang memanggil kita pulang pada persamaan,
Bahasa yang memupuk hormat dan persaudaraan,
Bahasa yang membangun harapan di tiap pertemuan.
Di bawah rindangnya Jembatan Ampera yang gagah,
Kami berdiri memandang masa depan yang cerah.
Dengan hati jernih seperti Pempek yang direndam kuah cuko,
Tajam, tegas, namun tetap penuh makna dan rasa.
Wahai Sumpah Pemuda,
Engkau bukan sekadar ucapan dan tinta,
Tapi janji hidup yang terus dijaga,
Dari Palembang, untuk Indonesia tercinta.
Puisi ini menjadi jembatan antara masa lalu dan masa kini — menghadirkan semangat Sriwijaya dan kebanggaan Palembang dalam bingkai Sumpah Pemuda.
Puisi “MATI MUDA”
Karya: Soe Hok Gie
Ada orang yang menghabiskan waktunya ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Mirasa
Tapi aku ingin menghabiskan waktuku di sisimu sayangku
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi
Tumbuh bersama kekuatan mimpi perempuan Indonesia
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biapra
Tapi aku ingin mati di sisimu
Manisku
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa
Nasib terbaik adalah tak pernah dilahirkan
Yang kedua, dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda.
Dibacakan oleh Salwa Pratiwi, puisi Soe Hok Gie menjadi penutup penuh renungan — tentang hidup yang singkat, idealisme yang abadi, dan keberanian untuk tetap bermimpi.
Kita adalah Pemilik Sah Republik Ini
Sebagai penutup malam, Kepala BPK Wilayah VI Kristanto Januardi membacakan puisi Taufik Ismail KITA ADALAH pemilik Sah Republik Ini menutup seluruh rangkaian dengan kelembutan cinta yang abadi.
Malam itu, Gedung Kesenian Palembang bukan hanya tempat pembacaan puisi. Ia menjadi rumah bagi suara-suara yang menolak lupa — bahwa Sumpah Pemuda bukan sekadar sejarah, melainkan napas persatuan yang terus hidup dalam tiap kata, tiap bait, dan tiap jiwa yang masih mencintai Indonesia.
Dengan dana berasal dari gotog royong pengurus DKP serta support fasilitas dari beberapa komunitas, menurut Ketua DKP M Nasir, semangat persatuan yang terpatri sejak 1928 tetap terjaga hingga 2025.
"Anak-anak muda harus menerima sugesti dan doktrin yang benar agar bangsa dan negara tetap pada relnya," tambahnya.