pariwisata-kebudayaan

Songket Kuno Kembali ke Palembang: Antara Kebanggaan, Seremoni, dan Standar Ganda Pelestarian

Minggu, 2 November 2025 | 09:24 WIB
Sarung tangan dan masker dipakai saat menampilkan songket kuno di rumah dinas walikota Palembang. (Dok)


KetikPos.com, Palembang,  — Sebuah momen bersejarah terjadi di Rumah Dinas Wali Kota Palembang, Jalan Tasik, Rabu siang.

Di hadapan para pejabat, tokoh masyarakat, dan pelaku budaya, seorang warga negara Australia bernama Mr. Pate Musken menyerahkan kain songket kuno berusia ratusan tahun kepada Pemerintah Kota Palembang.

Songket itu bukan sekadar kain — ia membawa jejak masa lalu, aroma sejarah, dan kebanggaan akan peradaban Melayu Palembang yang gemilang.
Namun di balik kemegahan seremoni tersebut, muncul suara sumbang dan tanya besar:

Apakah penghormatan terhadap warisan budaya hanya sebatas seremoni dan pencitraan?
Kain Tua yang Pulang ke Asal
Mr. Pate Musken, pria berkebangsaan Australia keturunan Belanda, menceritakan asal-usul songket itu dengan nada haru.

“Kain ini diwariskan dari ayah saya yang memilikinya sejak sekitar tahun 1946 hingga 1951,” ujarnya. “Ia mendapatkannya dari seorang pilot Belanda sebagai pelunasan hutang.”

Songket tersebut, yang memiliki motif Limar Bunga Cogan — dahulu hanya dipakai oleh raja-raja Melayu — telah tersimpan di loteng rumah Musken selama lebih dari tiga dekade.
“Saya tidak tahu nilainya. Saya hanya tahu itu benda tua yang indah. Saya simpan agar tidak rusak,” katanya.
Hingga suatu hari, setelah menonton acara televisi tentang songket Palembang, Musken merasa terpanggil untuk menelusuri asal-usul kain itu. Hasil penelusurannya membawa ia kembali ke kota asal songket — Palembang, tanah yang dulu ditinggalkan leluhurnya.
“Saya merasa, benda ini harus kembali ke tempat asalnya. Ini bukan soal kepemilikan, tapi penghormatan terhadap sejarah dan budaya,” ujarnya.

Sambutan Hangat dan Seremoni Mewah
Wali Kota Palembang, Ratu Dewa, menyambut hangat penyerahan tersebut.
“Ini bukti bahwa warisan budaya Palembang diakui hingga ke mancanegara. Kita berterima kasih atas ketulusan Mr. Musken,” ujarnya dalam pidato sambutannya.

Acara berlangsung dengan penuh kehormatan. Para tamu mengenakan sarung tangan dan masker, sementara songket kuno itu diletakkan di atas meja berlapis kain beludru merah.
Kamera media berderet, cahaya lampu menyorot. Kata “pelestarian budaya” bergema di setiap pidato.
Namun, keindahan seremoni itu tak sepenuhnya memantulkan kesempurnaan di balik layar.

Saat dan tempat berbeda, perlakuan seakan semena-mena diberlakukan terhadap songket kuno tersebut. (Medsos @andiepedoo)

Di Museum, Tanpa Sarung Tangan
Beberapa hari sebelumnya, songket yang sama dipamerkan di Museum SMB II Palembang. Namun berbeda dengan kemegahan acara resmi, di sana tak ada perlakuan khusus terhadap kain bersejarah itu.
Beberapa pengunjung dan petugas yang memegangnya tidak menggunakan sarung tangan maupun masker.
Padahal, para pengelola museum seharusnya memahami pentingnya perlakuan konservatif terhadap benda kuno, termasuk menjaga suhu, kelembaban, dan kebersihan tangan untuk mencegah kerusakan serat kain.
“Perlakuannya seperti benda biasa. Padahal itu warisan langka,” ujar seorang pegiat budaya yang enggan disebut namanya. “Ironis, di tempat ilmu budaya, malah tak dijaga dengan benar.”

Pemilik songket sebelumnya juga mengakui pernah menjadikan songket itu sebagai taplak meja. 

"Bahkan pernah menyalakan lilin di atas songket itu, dan ada bekas lilinnya," papar Walikota Palembang, Ratu Dewa di rumah dinas.

Tapi, sepertinya itu saat pemilik songket  warisan orang tuanya itu belum menyadari bahwa songket itu adalah langka dan kuno. 

Dewan Kesenian Palembang: ‘Ada yang Tidak Sinkron’
Kritik tajam datang dari Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP), M. Nasir, yang menyayangkan sikap pihak pemerintah.
Menurutnya, DKP sempat mengusulkan agar Mr. Musken diundang dalam peringatan Sumpah Pemuda di Gedung Kesenian Palembang — agar ia juga merasakan semangat kebangkitan dan persatuan bangsa Indonesia.
“Kami ingin beliau ikut merasakan aura Sumpah Pemuda, karena peristiwa itu juga bagian dari kebangkitan budaya nasional. Tapi ajakan kami tidak ditanggapi,” ujar Nasir.
Yang terjadi justru sebaliknya.
Melalui akun resmi Dinas Kebudayaan, Musken justru dibawa berkeliling ke berbagai destinasi wisata, dari Rumah Babah Boentjit hingga beberapa destinasi di seputaran sungai Musi.

“Kami pertanyakan hal ini. Apakah mereka menganggap wisata lebih penting dari Sumpah Pemuda? Ini soal prioritas dan penghargaan nilai,” tambahnya.
Standar Ganda dalam Pelestarian
Kisah ini memunculkan kontras tajam:
Di panggung seremoni, songket kuno dijaga ketat dengan sarung tangan dan masker.
Di museum, ia disentuh bebas tanpa pengaman.
Saat acara nasional penuh makna kebangsaan, tak ada ruang bagi pemilik songket untuk ikut berpartisipasi.
Namun untuk pariwisata dan pencitraan, pintu terbuka lebar.
Kritikus budaya menilai hal ini sebagai simbol ketidakkonsistenan dalam mengelola warisan budaya.
“Pelestarian itu bukan soal seremoni, tapi konsistensi. Kalau cuma dijaga saat difoto, itu namanya pencitraan budaya,” ujar salah satu pengamat yang hadir.
Lebih dari Sekadar Kain
Kini, songket kuno itu resmi menjadi milik Pemerintah Kota Palembang dan akan menjadi bagian koleksi tetap.
Motif Limar Bunga Cogan yang dulu hanya dimiliki bangsawan kini kembali ke tanah asalnya — bukan sebagai simbol kekuasaan, tetapi simbol kesadaran budaya.
Namun, kisah ini menyisakan satu pertanyaan yang menggantung:
“Apakah kita benar-benar menghormati warisan budaya, atau hanya mengaguminya saat menjadi sorotan kamera?”
Ketulusan
Kain songket kuno itu telah melintasi waktu, benua, dan generasi.
Ia selamat bukan karena kebijakan, melainkan karena ketulusan seorang asing yang tahu arti menghargai sejarah.
Sementara di tanah asalnya, kita masih belajar membedakan antara mencintai budaya dan memanfaatkan budaya.

Tags

Terkini