Malam itu, Lawang Borotan seakan meminjam kembali denyut masa lalu. Pintu kayu tua yang selama ini berdiri sebagai penanda sejarah Palembang mendadak berubah menjadi panggung kosmik—tempat tradisi bernegosiasi dengan modernitas, tempat seni berbicara dengan masa lalu, dan tempat seorang perempuan dari abad-abad silam kembali memberi arah: Ratu Sinuhun.
Gerbang yang Tidak Hanya Dibuka, Tapi Dibangkitkan
Ketika lampu-lampu panggung mulai menyisir lekuk bangunan Lawang Borotan, suasana berubah seperti upacara pembangkitan. Sejak sore, Ketua DKP M. Nasir bersama Sekretaris Faldy, Ketua Pelaksana Cheirman, dan tim program mengatur segala ritme acara dengan cermat — seolah mereka sedang menyiapkan sebuah ritual besar, bukan sekadar pembukaan festival.
Walikota Palembang H. Ratu Dewa pun meresmikan Pekan Seni 2025 dari titik yang sangat simbolis ini. Pilihan lokasi bukan kebetulan; Lawang Borotan sejak lama dikenal sebagai pintu penyambut tamu bangsawan dan penjaga identitas kultural kota. Membuka festival seni justru di sini adalah cara Palembang mengakui bahwa kreativitasnya lahir dari akar yang jauh lebih tua dari panggung modern.
Ketika Ratu Sinuhun Masuk Melalui Gerak
Pembukaan berlangsung khidmat. Lawang Borotan benar-benar “bernafas” ketika Sanggar Mei-Mei menampilkan Tari Gema Swara Sinuhun, koreografi Sonia Anisah Utami.
Bagi banyak penonton, detik itu terasa seperti hadirnya sosok Ratu Sinuhun dalam bentuk getaran:
Gerak tangan yang lembut namun tegas.
Selendang yang melengkung seperti angin yang membawa pesan lama.
Irama musik yang mengikat ruang seakan membentuk lingkar sakral.
Tarian itu bukan sekadar sajian estetis; ia berfungsi seperti mantra yang memanggil kembali suara perempuan yang memberi dasar Simbur Cahaya — naskah hukum yang menandai kecerdasan, keberanian, dan kepemimpinan perempuan Sumatera Selatan jauh sebelum dunia modern mengenalnya.
Di hadapan Lawang Borotan, simbol pintu adat dan otoritas lokal, interpretasi soal keberanian perempuan itu menjadi berlipat maknanya. Seolah Sinuhun sendiri berdiri di belakang para penari, memerhatikan bagaimana generasi kini menghidupkan kembali gagasan-gagasannya tentang keadilan dan kesetaraan.
Lawang Borotan sebagai Ruang Lintas Zaman
Yang membuat pembukaan ini unik bukan hanya tarian atau keramaiannya, tetapi bagaimana seluruh rangkaian acara terasa seperti percakapan antara zaman:
Lawang Borotan mewakili masa silam.
Ratu Sinuhun mewakili gagasan yang melampaui waktu.
Para seniman mewakili masa kini yang gelisah dan kreatif.
Pekan Seni 2025 mewakili masa depan yang sedang dirumuskan.
Di sinilah seni ditemukan bukan sebagai hiburan, tetapi sebagai jembatan identitas. Setiap pertunjukan, dari musik hingga puisi, seolah meminjam gema dari dinding dan pintu kayu Borotan yang telah menjadi saksi banyak upacara adat.
Penghargaan, Para Senior, dan Jalinan Ingatan Kota
Dalam nuansa sejarah tersebut, pemberian penghargaan kepada Dr (K) Silo Siswanto, pencipta Mars DKP, dan Martha Astra Winata, pelukis Ratu Sinuhun, menjadi simbol bahwa Palembang tidak hanya merayakan seni—ia merawat jejak para penjaganya.
Martha, yang lukisan Ratu Sinuhunnya menjadi identitas visual festival, secara tidak langsung menjadi penghubung antara wajah masa lalu dan festival hari ini. Lukisannya mempertegas bahwa figur Sinuhun bukan sekadar nama dalam teks sejarah, tetapi energi yang hidup di tengah seniman kontemporer.
Rangkaian Perayaan yang Menyambung “Nafas Pintu”
Setelah seremoni, panggung dikuasai musik dan suara:
Tanjak Kultur
Kawan Lamo
Rejung Pesirah
Bucu Band
Gong Sriwijaya
Lalu menjelang malam semakin dalam, Anto Narasoma tampil membawa puisi bertema Marsinah berkolaborasi dengan Penari Salwa Pratiwi dan biola Nazaruddin (Caca). Kolaborasi ini terasa selaras dengan semangat Sinuhun — mengangkat suara perempuan yang memikul perjuangan.
Setiap denting, setiap tepukan tangan, seakan memantul kembali dari lengkung Lawang Borotan, membuat tempat itu seperti ikut bernyanyi bersama.
Penutup: Ratu Sinuhun sebagai Penjaga Gerbang Kreativitas
Jika festival adalah sebuah perjalanan, maka Pekan Seni 2025 memulai perjalanannya dari pintu yang tepat. Lawang Borotan menjadi saksi bahwa seni Palembang berdiri di atas fondasi kuat yang diwariskan perempuan-perempuan bijak.
Dan malam ini, melalui tarian, musik, dan penghormatan, Palembang mengirim pesan yang kuat:
Kreativitas kota ini tidak lahir begitu saja. Ia keluar dari sebuah pintu—pintu yang dijaga oleh nilai, keberanian, dan pemikiran Ratu Sinuhun.
Pekan Seni 2025 baru dimulai, tetapi jejak yang ditinggalkan di Lawang Borotan sudah seperti janji:
Bahwa kelima hari ke depan akan menjadi perjalanan seni yang pulang ke asalnya, lalu bergerak lagi ke masa depan.