politik-eksbis

Ketika Kekuasaan Eksekutif Tak Terkendali: Analisis Otoritarianisme Predatori

Selasa, 26 Agustus 2025 | 16:25 WIB
Ketika Kekuasaan Eksekutif Tak Terkendali: Analisis Otoritarianisme Predatori (Dok)

Ketikpos.com, Jakarta - Dalam sistem demokrasi, idealnya terdapat pembagian kekuasaan yang seimbang antara lembaga eksekutif (pemerintah), legislatif (parlemen), dan yudikatif (peradilan). Masing-masing memiliki peran, fungsi, dan wewenang yang saling mengawasi dan menyeimbangkan. Namun, terkadang dinamika politik justru mengarah pada fenomena di mana kekuasaan eksekutif menjadi terlalu kuat (full power), cenderung otoriter, dan bahkan bersifat predator terhadap lembaga-lembaga negara lainnya. Fenomena ini tidak terjadi begitu saja, melainkan berakar dari berbagai faktor kompleks.

1. Korupsi dan Lemahnya Penegakan Hukum
Salah satu akar utama dari kekuasaan eksekutif yang otoriter adalah korupsi yang sistematis. Ketika korupsi merajalela, elite eksekutif dapat menggunakan kekayaan dan sumber daya negara untuk memperkuat posisi politik mereka. Kekuasaan ini bisa digunakan untuk menyuap anggota legislatif agar meloloskan undang-undang yang menguntungkan, atau bahkan mengendalikan lembaga peradilan melalui penunjukan hakim atau jaksa yang tidak independen.

Pembajakan Parlemen: Eksekutif bisa "membeli" loyalitas anggota parlemen atau partai politik lain, membuat fungsi pengawasan legislatif menjadi sekadar formalitas.

Kriminalisasi Lawan Politik: Kekuasaan hukum disalahgunakan untuk menjebak atau menjatuhkan lawan politik dengan dalih korupsi atau pelanggaran hukum lainnya, sehingga kritik dan oposisi dapat dibungkam.

2. Lemahnya Lembaga Legislatif dan Yudikatif
Sistem check and balances hanya berfungsi jika lembaga-lembaga yang terlibat memiliki kekuatan dan independensi yang setara. Seringkali, lembaga legislatif dan yudikatif justru menjadi lemah karena berbagai alasan.

Legislatif yang Terfragmentasi atau Tidak Kompeten: Parlemen yang terpecah-belah dalam banyak faksi atau partai sering kali sulit mencapai konsensus untuk menentang kebijakan eksekutif. Selain itu, jika anggota legislatif tidak memiliki kapasitas yang memadai, mereka akan gagal menjalankan fungsi pengawasan dengan efektif.

Yudikatif yang Terkooptasi: Independensi peradilan sangat krusial. Namun, eksekutif dapat menempatkan orang-orangnya di posisi strategis dalam lembaga peradilan, seperti Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung. Hal ini memungkinkan mereka memanipulasi putusan hukum untuk melayani kepentingan politik mereka.

3. Populisme dan Manipulasi Opini Publik
Di era digital, populisme menjadi alat yang efektif untuk mengkonsolidasikan kekuasaan. Pemimpin populisme seringkali mengklaim mewakili "kehendak rakyat sejati" dan menampilkan diri sebagai sosok yang anti-elit dan anti-sistem.

Pembangunan Narasi "Kami Melawan Mereka": Pemimpin otoriter sering menciptakan musuh bersama, baik itu "kaum elit," "asing," atau "pihak-pihak yang tidak setia." Narasi ini mengalihkan perhatian publik dari penyalahgunaan kekuasaan dan membenarkan tindakan eksekutif yang represif.

Penguasaan Media dan Disinformasi: Untuk mengendalikan narasi, eksekutif yang berkuasa dapat menggunakan berbagai cara, mulai dari membeli atau mengendalikan media massa hingga menggunakan *buzzer* dan *bot* di media sosial untuk menyebarkan disinformasi dan mempolarisasi masyarakat. Hal ini membuat masyarakat sulit membedakan antara fakta dan fiksi, melemahkan kemampuan publik untuk membuat penilaian kritis.

4. Sistem Politik yang Sentralistik
Sistem politik yang sangat sentralistik, di mana kekuasaan dan sumber daya terkonsentrasi di tangan pemerintah pusat, juga berkontribusi pada fenomena ini. Tanpa otonomi yang kuat di tingkat daerah, pengawasan dari masyarakat lokal menjadi sulit dilakukan.

Penyalahgunaan Sumber Daya Negara: Dana publik, terutama yang berasal dari proyek-proyek pembangunan besar, dapat digunakan sebagai alat untuk memperkuat jaringan politik eksekutif.

Melemahnya Pemerintahan Lokal: Kebijakan yang sentralistik membuat pemerintah daerah kehilangan daya tawar dan otonomi. Mereka menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat, bukan lagi lembaga yang melayani masyarakat lokal.

5. Krisis Politik atau Ekonomi sebagai Pintu Masuk

Halaman:

Tags

Terkini

Kejaksaan RI telah Bertransformasi & Mereformasi Diri

Rabu, 19 November 2025 | 12:23 WIB