politik-eksbis

Dari Parlementer Rapuh ke Presidensial Setengah Hati: Potret Evolusi Sistem Pemerintahan Indonesia

Jumat, 29 Agustus 2025 | 05:26 WIB
Dari Parlementer Rapuh ke Presidensial Setengah Hati: Potret Evolusi Sistem Pemerintahan Indonesia (dok)


Ketikpos.com, Jakarta – Indonesia bukan hanya negara kepulauan terbesar di dunia, tapi juga laboratorium politik yang terus bereksperimen dengan bentuk pemerintahan. Sejak proklamasi 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia tidak pernah benar-benar “mapan.” Dari parlementer, terpimpin, otoriter, hingga presidensial, negeri ini seperti mencari-cari baju yang pas—sayangnya, sampai kini masih terasa longgar di sana-sini.

1945–1959: Demokrasi Parlementer, Rapuh Seperti Rumah Kartu
Masa awal kemerdekaan diwarnai semangat demokrasi parlementer. Perdana menteri menjadi pemegang kendali, sementara presiden lebih seremonial. Sayangnya, praktik ini lebih mirip drama politik tanpa jeda: kabinet jatuh-bangun tujuh kali dalam sembilan tahun. Instabilitas politik tak hanya melelahkan, tapi juga membuat agenda pembangunan tersendat.

1959–1966: Demokrasi Terpimpin, Stabil tapi Mencekik
Tak tahan dengan kekacauan, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959: kembali ke UUD 1945. Lahirlah Demokrasi Terpimpin, di mana presiden jadi pusat gravitasi kekuasaan. Stabilitas tercapai, tapi demokrasi terpinggirkan. Kekuasaan yang terkonsentrasi akhirnya menumbuhkan otoritarianisme, hingga rezim tumbang pada 1966.

1966–1998: Orde Baru, Presidensial Otoriter ala Soeharto
Soeharto membawa janji “kembali ke konstitusi.” Nyatanya, sistem presidensial versi Orde Baru menjelma otoriter. Pemilu lima tahunan hanya formalitas, DPR lebih berfungsi sebagai stempel, dan rakyat kehilangan ruang kritik. Stabilitas ekonomi memang dicapai, tapi dengan harga mahal: kebebasan sipil dikorbankan, korupsi merajalela.

1998–sekarang: Reformasi dan Presidensial yang “Setengah Hati”
Reformasi 1998 memaksa perubahan mendasar:

Presiden dipilih langsung oleh rakyat.

Masa jabatan dibatasi dua periode.

MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara.

Mahkamah Konstitusi lahir sebagai penjaga konstitusi.

Secara konstitusi, sistem presidensial Indonesia jadi lebih demokratis. Namun praktiknya, presidensial kita masih “setengah hati.” Presiden memang kuat, tapi kerap menggunakan kekuatan itu untuk mengontrol lembaga lain.

Beberapa contohnya:

Revisi UU KPK (2019): publik menilai KPK dilemahkan dengan restu eksekutif.

Koalisi Gemuk di DPR: oposisi hampir punah, DPR kehilangan fungsi kritis.

Putusan kontroversial MK: termasuk soal syarat usia capres-cawapres yang dinilai sarat kepentingan.

Omnibus Law Cipta Kerja: proses legislasi super cepat, minim partisipasi publik.

Halaman:

Tags

Terkini

Kejaksaan RI telah Bertransformasi & Mereformasi Diri

Rabu, 19 November 2025 | 12:23 WIB