“Transformasi ini bukan semata persoalan teknologi, tetapi perubahan budaya birokrasi menuju tata kelola yang inklusif dan responsif,” ujarnya.
Baca Juga: Sumber PAD Membawa Petaka Bagi Masyarakat Provinsi Sumatera Selatan
Sebagaimana sebelumnya telah diberitakan Anggota DPRD Kota Palembang dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Okdi Priantoro, SE Ak, SH melontarkan kritik keras terhadap penerapan Perda Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pajak dan Retribusi Daerah.
Ia menyebut aturan tersebut gagal total mengontrol praktik pungutan parkir dan justru membuka celah kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) secara sistematis.
“Perda ini hanya jadi formalitas. Faktanya, tarif parkir di lapangan semrawut dan penuh penyimpangan,” tegas Andreas kepada wartawan, Kamis (22/5).
Baca Juga: Mahasiswa Geruduk Parkside’s Hotel Palembang, Tuntut Investigasi Dugaan Kebocoran PAD
Tarif resmi dalam Perda menetapkan parkir kendaraan roda empat di luar badan jalan sebesar Rp3.000 untuk satu jam pertama dan Rp2.000 untuk jam berikutnya.
Namun realitasnya, tarif liar di pusat perbelanjaan dan hotel ternama seperti Palembang Icon, Palembang Square, PSX Mall, Arista, Novotel hingga rumah sakit, bisa mencapai Rp5.000 per jam tanpa kejelasan dasar hukum.
“Tidak ada transparansi. Konsumen tidak tahu apakah mereka membayar pajak, retribusi, atau justru jadi korban pungli,” kata Andreas, yang juga menjabat di Komisi III DPRD Kota Palembang.
Baca Juga: DPP Gencar Indonesia Perjuangkan Retribusi Tol Sungai Musi: Peluang Besar Dongkrak PAD Palembang
Andreas bahkan menyebut pengalaman pribadinya saat kehilangan karcis parkir di Hotel Arista sebagai bukti nyata praktik penyimpangan. Ia dipaksa membayar denda Rp50.000 hanya untuk bisa keluar dari area parkir, disertai kewajiban menunjukkan STNK atau KTP.
“Saya tanya dasar hukumnya, tidak ada jawaban. Ini bukan sekadar pelanggaran aturan. Ini pemerasan,” ujarnya.
Ia juga membeberkan bahwa realisasi pajak parkir yang dilaporkan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) masih stagnan di bawah Rp9 miliar per tahun.
Angka itu disebut jauh dari potensi riil yang seharusnya bisa dikumpulkan dari ribuan titik parkir dan jutaan kendaraan di Palembang.