KetikPos.com — Keamanan dan kesehatan masyarakat di ruang publik perkotaan menjadi dua prinsip utama dalam perencanaan dan perancangan kota. Hal itu, seperti yang disampaikan oleh Pakar Kelompok Keahlian Perancangan Arsitektur Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK) Institut Teknologi Bandung (ITB), Dr. Ing. Ir. Heru Wibowo Poerbo, MURP.
Menurutnya, keselamatan dan kesehatan merupakan aspek yang tidak bisa ditawar dalam pengelolaan ruang publik, termasuk jalan dan trotoar yang menjadi bagian dari ruang terbuka untuk umum.
“Jadi dipastikan dahulu bahwa ruang publik itu telah memenuhi syarat untuk keamanan dan keselamatan masyarakat. Jalanan umum dan trotoar juga termasuk ke dalam kategori ruang terbuka publik.
Diutamakan bahwa apa pun yang ada di ruang umum itu tidak akan mencelakai atau mencederai masyarakat yang beraktivitas di sana,” jelas Heru seperti dikutip Ketikpos pada laman itb.ac.id, Rabu (07/05/25).
Baca Juga: Kabel Semrawut di Perkotaan: Ancaman Tersembunyi dan Siapa yang Bertanggung Jawab serta Apa Hak Masyarakat?
Pelanggaran Aturan Tata Ruang Jalan
Pemerintah Indonesia sejatinya telah menetapkan aturan tegas terkait ruang jalan dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Aturan tersebut menjelaskan batasan dan fungsi dari berbagai ruang dalam kawasan jalan. Sebut saja dari daerah manfaat jalan atau area yang digunakan untuk kepentingan jalan, seperti badan jalan, bahu jalan, trotoar, dan media jalan.
Lalu ada ruang manfaat jalan, yang merupakan ruang di atas dan di bawah permukaan tanah yang digunakan untuk lalu lintas orang, kendaraan, dan perlengkapan jalan. Ada pula ruang milik jalan, yakni ruang di luar ruang manfaat jalan yang sering digunakan untuk menunjang fungsi jalan, contohnya saluran drainase, taman jalan, dan jalur hijau.
Baca Juga: Kabel Menjuntai Seperti Ular di Depan Gedung Kesenian Palembang, Ketua DKP: Kemana Harus Mengadu?
Terakhir ada ruang pengawasan jalan atau ruang di luar ruang milik jalan yang diawasi oleh penyelenggara jalan untuk menjaga keselamatan dan keamanan konstruksi jalan.
Dalam konteks daerah manfaat jalan, beliau menjelaskan bahwa lebar jalan ditentukan berdasarkan kategori dan hirarki jalan. Apakah jalanan tersebut termasuk jalan arteri, kolektor, primer, sekunder, atau jalan lingkungan lokal.
“Berdasarkan kategorinya, Jalan Peta merupakan jalan kolektor primer, sementara Jalan Kopo adalah arteri sekunder. Kedua jenis jalan ini memiliki ruang bebas di atasnya yang harus dijaga. Pemasangan kabel di atas jalan, meski diperbolehkan, wajib mengikuti aturan, yaitu setinggi minimal lima meter dari permukaan aspal,” tegasnya.
Baca Juga: Dedy Irawan Dorong Perda Penataan Utilitas Terpadu Atasi Kabel Semrawut di Palembang
"Pemasangan kabel di atas jalan masih diperbolehkan, akan tetapi sesuai aturan harus dengan ketinggian minimal 5 meter dari permukaan jalan. Agar masyarakat pun terjamin keamanan serta keselamatannya," lanjutnya.
Adanya kabel yang tergantung di bawah ketinggian standar menandakan adanya kelalaian dalam instalasi serta pemeliharaan utilitas publik. Selain membahayakan pengendara, khususnya pengguna kendaraan tinggi seperti truk, kabel semacam itu juga mengurangi kualitas visual kota.
Estetika Kota yang Terkorbankan
Artikel Terkait
Andreas Okdi Soroti Persoalan Sampah dan Kabel Udara: Saatnya Tata Kota Palembang Dibangun dengan Serius
Kabel Udara Semrawut atau Sarang Laba-Laba dan Menjuntai Bak Ular di Tengah Kota?
Kabel Udara Semrawut, DPRD Desak Pemkot Tertibkan dan Dorong Perda Terkait Penataan Jaringan Utilitas Terpadu
Ade Indra Chaniago: Palembang Butuh Perda, Bukan Tiang dan Kabel Semrawut
Dedy Irawan Dorong Perda Penataan Utilitas Terpadu Atasi Kabel Semrawut di Palembang
Kabel Menjuntai Seperti Ular di Depan Gedung Kesenian Palembang, Ketua DKP: Kemana Harus Mengadu?
Kabel Semrawut di Perkotaan: Ancaman Tersembunyi dan Siapa yang Bertanggung Jawab serta Apa Hak Masyarakat?