KetikPos.com --Di tengah pesatnya arus globalisasi yang kerap membuat nilai-nilai lokal tergerus, masyarakat Desa Beringin Lubai justru tampil menjadi pelopor pelestarian budaya lewat ditulisnya buku Boenga Rampai Beringin Loebai Tempo Doeloe.
Diresmikan pada 9 Juli 2025, bertepatan dengan Hari Jadi Desa, buku ini tidak hanya mencatat sejarah dan adat, namun juga menghidupkan kembali bahasa ibu dan petutohan leluhur yang selama ini hanya diwariskan secara lisan.
Disusun oleh Maryon Lubai bersama tim penulis keluarga dan tokoh masyarakat, buku ini nantinya diharapkan bisa direkomendasikan sebagai bahan ajar muatan lokal dan dijadikan salah satu prioritas program desa melalui RPJMDes 2026–2031.
Pengantar Kepala Desa: “Milikkan Leluhur, Amanah Generasi”
Dalam kata pengantarnya, Kepala Desa Beringin Lubai, Berri Putra Prabu, menegaskan bahwa Boenga Rampai bukan sekadar proyek dokumentasi, melainkan bagian dari amanah sejarah yang wajib dijaga bersama:
“Buku ini bukan hanya milik penulis, bukan juga milik pemerintah desa, tetapi milik bersama seluruh masyarakat Lubai. Ia adalah cermin dari siapa kita dulu, siapa kita hari ini, dan ke mana arah generasi kita akan berjalan ke depan. Saya berharap buku ini tidak berhenti dibaca, tapi juga diteruskan semangatnya lewat kegiatan budaya, pendidikan, dan pengabdian.”
Kepala desa juga menambahkan bahwa penerbitan buku ini adalah momen penting yang meneguhkan komitmen desa untuk menjadikan budaya sebagai pondasi pembangunan manusia.
Isi Buku: Menyelami Identitas Lubai Lewat Empat Bab Utama
Buku ini dibagi dalam empat bagian utama:
1. Bahasa Ibu & Tuturan Lokal
Mengenalkan logat Melayu Tengah seperti kemane, sude, dan tehung, serta menyajikan daftar perumpamaan khas seperti “Rasan Bujang Tagak”, yang menjadi bahan ekstrakurikuler pelestarian moral desa.
2. Adat dan Tradisi Tempo Dulu
Mulai dari Ngumpul Sanak, Lemang Dodol, hingga Kupek Turun ke Tanah, dan Arak-Arakan Pengantin, buku ini memvisualkan dinamika adat dengan foto dan narasi warga.
3. Sejarah Lokal dan Konflik Kuno
Di antaranya kisah legendaris Puyang Tuan vs Garong Pasemah, serta mitos asal-usul beberapa dusun di sepanjang aliran Sungai Lubai.
4. Refleksi Perubahan Sosial
Menggambarkan transisi masyarakat desa dari masa struktur adat marga (pra-1983) ke era desentralisasi, dan bagaimana identitas lokal tetap hidup lewat aktivitas budaya.
Arkeologi & Narasi Sriwijaya: Beringin Lubai Bukan Desa Biasa
Bab III juga menyertakan hasil survei arkeologi oleh Universitas PGRI Palembang yang menemukan:
• Bata candi kuno
• Fragmen antefik
• Porselin Dinasti Ming
• Keramik Eropa abad ke-18
Temuan ini memperkuat posisi desa dalam jaringan jalur dagang Sriwijaya kuno, terutama karena letaknya di anak sungai menuju Sungai Musi—yang dahulu menjadi rute maritim utama kerajaan bahari Nusantara.
Buku Saku Digital & Audio: Karya Tradisional Rasa Teknologi
Boenga Rampai nantinya hadir dalam dua format: buku fisik dan versi digital.
“Ini bukan sekadar membaca, tapi mendengar suara masa lalu,” kata Emi Ebroni Lubai, anggota tim penulis yang juga keturunan penjaga adat.
Kutipan Inspiratif Penulis Utama
Dalam penutup buku, Maryon Lubai menulis:
“Menulis buku ini bukan untuk menjadi hebat. Tapi agar cucu-cucu kami tahu bahwa kami pernah dijaga oleh orang-orang yang tak pernah membiarkan budaya itu hilang.”
Menjaga Akar, Merangkul Masa Depan
Boenga Rampai Beringin Loebai Tempo Doeloe adalah bukti bahwa pelestarian budaya tidak harus mahal, tetapi harus dimulai. Ketika sejarah ditulis oleh masyarakatnya sendiri, maka yang lahir bukan sekadar buku—tetapi identitas.