Pemilihan Pengurus DKJ: Tebak Buah Manggis Ala AJ, Peran Kanon dan Gugurnya Amanah MKJ

photo author
DNU
- Sabtu, 29 Juli 2023 | 06:03 WIB
Sihar Ramses, sastrawan (dok)
Sihar Ramses, sastrawan (dok)
Oleh: Sihar Ramses Simatupang *)
 
Susunan pengurus Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) akan diumumkan sebentar lagi. Masyarakat seni masih menunggu Keputusan Akademi Jakarta (AJ) untuk diarahkan pada Gubernur DKI Jakarta, sehingga nama-nama itulah yang akan tertera di Surat Keputusan yang akan dilantik sebagai pengurus DKJ.
 
Keputusan Akademi Jakarta adalah suatu forum yang dianggap paling istimewa, independen dan rahasia. Benarkah?
 
Sepintas tentu saja nama yang ada dalam susunan kepengurusan Akademi Jakarta -berisikan nama-nama yang mewakili kaum seniman, budayawan dan intelektual, bermartabat, punya track record kesenian yang kuat, maestro- diharapkan jernih dalam memilih lima nama di tiap komite dari belasan nama calon yang masuk.
 
Benarkah? Tidak juga.
 
Di Indonesia, barangkali baru lembaga kesenian di Jakarta yang kerap menjadi barometer Indonesia ini yang belum terpercik gelombang reformasi. Sistem pemilihan DKJ masih top-down. Masih tidak mengikuti arus perubahan dan demokrasi para seniman.
 
Buktinya?
 
Beberapa waktu ini, telah digelar Musyawarah Kesenian Jakarta (MKJ) yang melibatkan ratusan seniman. Hasilnya? Beberapa nama diusulkan termasuk peringkat dari nama-nama yang terpilih di forum fox apopuli fox Dei itu.
 
Apakah nama-nama yang terpilih baik lewat pendaftaran online atau pun mendaftar offline ketika musyarawarah dilaksanakan, akan didengar oleh AJ?
 
Belum tentu. AJ bisa saja bergeming terhadap nama yang disodorkan oleh suara publik seniman ini.
 
Pilihan nama-nama di luar versi MKJ ini justru yang pasti akan keluar. Publik seni jadi melihat keputusan seolah tebak-tebak buah manggis. Hitung kancing sesukanya ala kanak-kanak. Tudingan ini beralasan. Karena ada aspirasi lain di balik aspirasi top-down dan tidak demokratis, yang tidak diketahui publik selama ini.
 
Ada beberapa kanon, rezim seniman yang kerap bermain di balik percaturan DKJ.
Tiga atau empat komunitas besar itu tumbuh dan membiak secara kapital dengan grand desain canggih sejak bertahun-tahun lalu, merambat dari pinggiran kemudian berkolusi dan bermutasi menjadi kanon besar membawa gerbong untuk paradigma kemakmuran tanpa perduli lagi amanah publik kesenian.
 
Ketidakpedulian yang akan pecah dengan bukti cuweknya AJ pada amanat Musyawarah Kesenian Jakarta.
 
Jujur saja, AJ dengan segala kemegahannya, terlalu muskil mengetahui tiap kiprah dan prestasi bakal calon atau calon DKJ. Selain karena sibuk, mereka sudah tidak sempat lagi turun gunung membaca setiap personal calon DKJ yang kelak menjadi kemudi lembaga kesenian yang berwibawa ini.
 
Oh ya, perlu diketahui, jabatan AJ memang seumur hidup. Namun anggota AJ yang sekarang, bukan lagi nama-nama legendaris yang terbentuk ketika TIM lahir dan berdiri di bawah kepemimpinan Gubenur DKI Jakarta Ali Sadikin. Sudah nama baru...
AJ yang sekarang adalah protolan nama-nama baru setelah anggota AJ kita yang lama telah wafat meninggalkan kita semua.
 
Nah, AJ yang sekarang, cenderung tak transparan pemilihan dan penunjukan nama-namanya. Mengukur timbangan tiap person pun belum tentu rata dan betul ukuran bobotnya, variatif dan berbeda-beda kadar kebegawanannya.
 
Pada fenomena inilah, AJ memainkan dan mempertaruhkan susunan kepengurusan DKJ untuk masa mendatang.
 
Ada beberapa rezim yang berada di balik penyusunan nama-nama ini. Semuanya digerakkan oleh kuasa estetik, mashab yang ujung sebenarnya tetaplah kepentingan ekonomi kelompoknya juga. Ada komunitas yang bermain di balik susunan yang diputuskan oleh Akademi Jakarta.
 
Komunitas inilah yang kerap memberikan warna - yang justru menjadi warna tunggal alias tak bercorak - sejak rezim kepengurusan DKJ mulai dari Firman Ichsan, Marco Kusumawijaya, Irawan Karseno bahkan hingga Danton Sihombing.
 
Warna ini yang mempengaruhi juga corak estetik, paradigma bahkan agenda yang disusun oleh DKJ. Apa seniman yang sebaiknya dihadirkan, memakai pola apa dan bagaimana percaturan seni yang dimunculkan baik di Jakarta, di luar provinsi bahkan di mancanegara.
 
Akibatnya, pilihan yang ditunjuk menjadi pengurus DKJ pun bukan berdasarkan prestasi karya sastra, bukan pula soal jaringan kesenian si calon, bukan soal wacana atau pengetahuan, bukan juga soal kemampuan manajemen. Tetapi yang sesuai, penurut dan setia membawa misi kanon atau kerajaan atau komunitas itu.
 
Hm, jadi serupa partai. Ya persis, jadi serupa partai, begitulah. Mirip sekali dengan partai yang mendudukkan orang di kursi parlemen atau pun kabinet.
 
Jadi jangan heran bila ada nama-nama di susunan Komite di Dewan Kesenian Jakarta yang tidak dikenal karyanya, tidak dikenal kiprahnya, tidak dikenal pergaulannya, tidak dikenal jaringannya, duduk manis, diam dan jadi anak baik di kursi DKJ selama beberapa rezim lampau. Karena memang bukan kemampuan manajemen, karya dan sejenisnya yang dilihat.
 
Pertempuran rezim ini juga yang membuat suasana demokrasi tidak terbuka, slendap-slendup, agar jangan ada publik kesenian dan masyarakat luas dapat membaca dan mengetahuinya. Di percaturan ini juga, masa depan kesenian dipertaruhkan.
 
Bisa jadi, hal ini pula yang menjad latar tidak pekanya kepengurusan di DKJ terhadap perubahan yang terjadi di Taman Ismail Marzuki. Tak peka ketika TIM diolah oleh BUMD alias Jakpro - padahal seperti juga pendidikan dan kesehatan, tumbuhnya Jakpro tak tepat bila dicokokkan ke kesenian. Tak peka juga hanya berapa sisa wilayah di TIM yang masih BLUD alias berada dalam wewenang Disbud DKI Jakarta - ironis...
 
Jadi, apa pun bolduzer yang datang ke halaman dan pekarangan TIM, mereka, para utusan atau boneka kanon ini tak akan perduli sama sekali. Merekalah yang sesungguhnya petugas kanon. Sampai TIM hancur lantak pun, selama masih ada kursi kekuasaan, invasi kanon ini akan diam asalkan mampu terus melancarkan sayap ambisi kekuasaan dan kesejahteraan kelompoknya.
 
Bagi kanon-kanon ini, paradigma kontemporer, tradisi, lokal, global, masterpiece, urban, adalah pergolakan dan pertarungan. Kesemuanya berusaha menjadi warna tunggal. Bukannya saling mendukung agar menjadi pelangi, yang seharusnya keberagaman konsep liyan adalah keindahan, tapi saling memaksakan. Sehingga berakibat macetnya agenda dan program...
 
Urusan "partai" kanon komunitas itu, menjadikan lembaga semacam DKJ jadi tak perduli lagi keresahan seniman-seniman TIM tentang independensi seni dan budaya di sini, tak lagi perduli pada bagaimana seni tak lagi tumbuh di pilar gedung kotak yang katanya kontemporer namun nyatanya masih berbentuk kotak alias masih bernuansa modern dan kaku itu.
 
Dominasi pola titipan kanon di dalam tubuh kepengurusan DKJ ini harus diubah di masa kepengurusan DKJ kelak. AJ tak mengenal suara demokrasi Musyawarah Kesenian Jakarta dan amanat pasca bermusyawarah.
 
AJ hanya suara kaum elit yang terlambat melakukan reformasi ketika organisasi politik, legilsatif-eksekutif-yudikatif di negeri ini terus melakukan perubahan yang mendengar suara rakyat bahkan kaum pinggiran. Tak ada demokrasi di lembaga kesenian yang seharusnya aspiratif, ideal dan guyub. Hingar suasana dialogis dan musyawarah di MKJ pun telah diamputasi untuk diarahkan sebagai tindakan destruktif.
 
Yang sebenarnya justru rapat itulah kali pertama terjadinya reformasi dan demokrasi di tubuh lembaga kesenian Jakarta yang kerap dianggap sebagai representasi lembaga seni di Indonesia ini.
 
Semua pola kanon inilah yang juga terjadi selama tiga periode Ketua DKJ!
Mulanya, ketika belum merasakan ada reformasi berwujud Musyawarah Kesenian Jakarta, saya tak tergerak - karena merasa tak berdaya - untuk bersuara dan melawan, meski nama saya beberapa kali muncul dalam isu pencalonan di tiap periode itu.
 
Tapi untuk periode kali ini, ketika ada forum Musyawarah Kesenian Jakarta yang mempersilakan setiap calon mendaftar daring dan nama saya muncul sebagai peringkat pertama di forum MKj itu, saya sudah bersiap lagi-lagi akan digugurkan.
 
Memang sejak dulu kita tak rela menjadi anak manis, wayang yang baik versi kanon, agar dapat duduk santai di kursi DKJ. Meski tak kaget, sungguh, kali ini saya akan bersuara tentang apa yang tersirat di balik nama yang tersurat dalam kepengurusan DKJ mendatang.
 
Agar semangat reformasi Musyawarah Kesenian Jakarta tetap berkobar apinya. Sekali pun, jangan pernah ada yang memadamkannya. Memenuhi amanah publik seni dan kebudayaan, sekaligus juga semangat UU Pemajuan Kebudayaan, yang turunannya terasa pada Perda Kebudayaan di setiap Kabupaten/Kota dan Provinsi.
 
Agar publik tahu, agar pola kotor ini dapat dihentikan, agar tak terulang di kehidupan seni dan kebudayaan pada masa generasi mendatang.
 
Ya, MKJ memang teramputasi infonya ke publik. Seolah destruktif. Padahal, musyawarah itu, bagai kotak pandora penderitaan seniman yang belasan bahkan puluhan tahun terdikte oleh kanon, lalu terbuka dan pecah.
 
Itulah jua kali pertama semangat reformasi tumbuh di tubuh kesenian dan kebudayaan, 25 tahun setelah reformasi di negeri ini. Bukan apa-apa, beberapa periode pemilihan DKJ sebelumnya mimpi untuk menggelar MKJ selalu gugur hanya di tataran konsep dan rapat semata.
 
Publik seni dan kebudayaan perlu tahu, MKJ kemarin adalah sejarah kita bersama. Meski tak sempurna, tapi dia milik kita...
 
Di tengah perjuangan independensi TIM agar menjadi space dan area para seniman, fenomena dan permainan di belakang kursi AJ dan DKJ perlu disikapi. Setidaknya, masyarakat bahkan Gubernur pun tahu apa latar di balik lembaga yang hingga sekarang bahkan belum melakukan reformasi ini.
 
Inilah yang terjadi di TIM bahkan meski sudah berbelas bahkan berpuluh tahun, tak kunjung berubah. Karena ini sama sekali bukan amanat publik dan masyarakat kesenian, maka hal ini patut dan perlu dibeberkan dan diungkapkan.
 
Jadi, catatan dari kita semua, di tiga tahun mendatang mulailah untuk menyingkirkan para kanon yang berpolitik kesenian ini, biarkan AJ menjalankan amanah MKJ dan untuk AJ bersungguhlah menjalankan peran tanpa setir dari kanon tertentu. Banyak keputusan telah dihasilkan di forum MKJ termasuk urutan nama yang dipilih berdasarkan hasil musyawarah di forum yang mulia ketika itu.
 
Apapun, saya tetap akan mendukung kepengurusan Dewan Kesenian Jakarta periode 2023-2026. Selamat bertugas. Jalankanlah amanah kesenian dengan baik pada tiga tahun mendatang. Salam juang. Salam seni budaya.
 
**) Pasar Minggu, Dinihari, 29 Maret 2023.
 
*) Penulis dan pengajar, salah satu kandidat calon Komite Sastra DKJ untuk periode 2023-2026.
 
**) Tulisan ini saya buat dan persiapkan beberapa bulan yang di tengah isu yang tak berketentuan bursa pemilihan Anggota DKJ.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Tags

Rekomendasi

Terkini

Media: Arsitek Realitas di Era Digital

Rabu, 26 November 2025 | 08:12 WIB

Menjaga Wibawa Pendidikan dari Kriminalisasi Pendidik

Jumat, 24 Oktober 2025 | 14:09 WIB

Pelangi Beringin Lubai II: SIMBOLIS HUBUNGAN KEKERABATAN

Selasa, 23 September 2025 | 07:02 WIB

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB

Rusuh: Rakyat Selalu Dipersalahkan, Kenapa?

Jumat, 5 September 2025 | 17:48 WIB

BEDAH ALA KRITIKUS SASTRA

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:28 WIB

BENDERA PUTIH TLAH DIKIBARKAN

Senin, 25 Agustus 2025 | 16:11 WIB
X