KetikPos.com --Pertunjukan teater "Nata Sukma" diangkat dari latar belakang masa "tanam paksa" kopi di tanah Priangan pada tahun 1833 di bawah kekuasaan kolonial Belanda. Sistem Preanger Stelsel ini menjadi basis bagi penerapan Culture Stelsel di seluruh Nusantara.
Teater "Nata Sukma" mempresentasikan sosio-kultur masyarakat pertanian dengan konteks isu-isu kekinian sebagai "seni pernyataan" untuk menyampaikan pikiran-pikiran tentang hidup harmonis.
Baca Juga: Drama Nata Ukma Siap Bius dengan Akting Panggung di Gedung Kesenian Palembang
Karya ini awalnya berupa cerita tutur dari sastra Sunda klasik berjudul "Wawacan Nata Sukma," yang ditulis anonim pada tahun 1833. Teks tersebut telah diteliti dan dipublikasikan dalam Jurnal Mudra tahun 2018, Technium Social Sciences Journal tahun 2024, dan dalam book chapter "Kajian Naskah Nusantara" oleh Manassa dan Oceania Press, 2024.
Cerita ini kemudian ditulis ulang menjadi naskah drama kontemporer berjudul "Nata Sukma," dan dipersembahkan sebagai seni pertunjukan teater yang menyoroti perjuangan manusia melawan tekanan kolonial dari zaman ke zaman.
Sebagai kreator, pertunjukan ini berhasrat untuk menghidupkan hibriditas seni pertunjukan dengan ragam budaya seni milik masyarakat, merevitalisasi seni pertunjukan yang hampir terlupakan, dan memperkenalkan seni pertunjukan baru untuk masa depan.
Tentang Konsep Pertunjukan Nata Sukma
Pertunjukan teater "Nata Sukma" berakar pada khazanah seni tutur masyarakat pertanian dan mengadopsi ragam teater rakyat. Dengan genre "teater pernyataan," pertunjukan ini menampilkan cerita tentang perjuangan manusia dalam merebut hak hidup layak dan harmonis, yang selalu berbenturan dengan entitas chaos rezim politik kehidupan.
Karakter-karakter dalam pertunjukan ini, seperti "Marhaen, Multatuli, Nata Sukma, dan para Marhaen," menyuarakan kesaksian tentang kejamnya kondisi korup yang terjadi dalam negeri. Pertunjukan ini mengkritik politisasi hidup yang sakit dan kondisi korup yang terus berlangsung dalam realitas demokrasi keberagaman hidup sebagai bentuk kolonialisasi.
Realitas pertunjukan ini berupa hibriditas tekstual verbal dan non-verbal, dengan tujuan menemukan capaian artistik penyajian yang kompleks di hadapan publik penonton. "Nata Sukma" diproduksi menjadi bentuk seni pertunjukan yang ansamble antara narativitas, performativitas, teatrikalitas, dan musikal, sehingga tampil dengan warna yang unik dan berbeda.