Bahasa, Puisi, dan Semesta Kata: Pelajar Sumsel Menyulap Taman Budaya Jadi Panggung Imajinasi

photo author
- Senin, 6 Oktober 2025 | 06:08 WIB
Bahasa, Puisi, dan Semesta Kata: Pelajar Sumsel Menyulap Taman Budaya Jadi Panggung Imajinasi (Dok)
Bahasa, Puisi, dan Semesta Kata: Pelajar Sumsel Menyulap Taman Budaya Jadi Panggung Imajinasi (Dok)


KetikPos.com, Palembang — Sabtu pagi di Galeri Cipta, Taman Budaya Sriwijaya, udara terasa seperti mengandung puisi. Di antara meja-meja yang berjajar rapi, puluhan pelajar duduk menunduk, pena mereka berlari menorehkan kata, seolah takut kehilangan ilham yang baru saja mampir lewat angin.
Mereka datang dari berbagai penjuru Sumatera Selatan—dari sekolah, madrasah, hingga pondok pesantren—membawa semangat dan rasa ingin tahu dalam Sayembara Menulis Apresiasi Karya Sastra 2025, bagian dari Pesta Apresiasi Sastra Pelajar Sumsel 2025.
Tema yang diusung bukan main-main:
Puisi Wajib: “Bahasa Indonesia sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia”
Puisi Pilihan: “Merajut Kearifan Lokal dalam Sastra Indonesia”
Tanpa gadget, tanpa referensi, para peserta diminta menulis langsung di lokasi—sebuah ujian spontanitas dan kejujuran rasa. Sejak pukul 08.00 pagi, Taman Budaya berubah jadi samudra ide. Setiap bait adalah ombak kecil yang membawa pesan tentang kebanggaan, budaya, dan identitas bangsa.
“Sastra melatih anak-anak melihat dunia dengan mata yang lebih peka,” ujar Anwar Putra Bayu, Ketua Koalisi Masyarakat Puisi, di sela kegiatan. “Dari puisi, mereka belajar bagaimana menghargai bahasa—dan hidup.”
Tiga juri dengan latar berbeda namun satu cinta pada sastra, menelusuri tiap lembar karya:
Maspril Aries, jurnalis dan pegiat literasi,
Jaid Saidi, penulis sekaligus deklamator,
Erfan Fajarullah, penulis dan Ketua Kompi Palembang.
Dari puluhan puisi yang lahir hari itu, tiga nama mencuri perhatian lewat orisinalitas dan kekuatan bahasanya:
Athiyyah Salsabila Gumay – SMP LTI Indo Global Mandiri
Allena Sheila Agatha – SMP Kusuma Bangsa Palembang
Viola Rizki Ramadhani – SMP Negeri 15 Palembang
Mereka pulang membawa piala, piagam, dan kenangan—tentang hari ketika bahasa Indonesia tak sekadar pelajaran di kelas, melainkan ruang tempat hati bicara.
Acara ditutup menjelang senja. Cahaya matahari menembus jendela Galeri Cipta, memantul di atas meja-meja yang kini dipenuhi kertas bertuliskan puisi. Dan di sanalah, mungkin, bahasa Indonesia sedang tersenyum—karena anak-anaknya masih setia menulis tentangnya, dengan cinta yang tak lekang waktu.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X