pariwisata-kebudayaan

Kesultanan Deli: Perjalanan Panjang Kerajaan Melayu Sebuah Kehidupan Penuh Warna

DNU
Minggu, 21 Januari 2024 | 06:42 WIB
kagungan dan keanggunan Istana Maimun hingga kini masih bisa dilihat (tangkapan layar laman @pariwisataindonesia)
 
KetikPos.com -- Kesultanan Deli menjadi acuan di wilayah Melayu. Perjalanan kekuasaannya juga penuh liku-liku panjang. 
 
Sisa-sisa kejayaan Kesultanan Deli hingga kini masih berdiri kokoh, Istana Maimun.
 
Daftar Sultan-sultan Deli 1632-1946
 
Tuanku Panglima Gocah Pahlawan (1632-1669)
Tuanku Panglima Parunggit (1669-1698)
Tuanku Panglima Padrap (1698-1728)
Tuanku Panglima Pasutan (1728-1761)
Tuanku Panglima Gandar Wahid (1761-1805)
Sultan Amaluddin Mangendar (1805-1850)
Sultan Osman Perkasa Alam Shah (1850-1858)
Sultan Mahmud Al Rasyid (1858-1873)
Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924)
Sultan Amaluddin Al Sani Perkasa Alamsyah (1924-1945)
Sultan Osman Al Sani Perkasa Alamsyah (1945-1967)
Sultan Azmy Perkasa Alam Alhaj (1967-1998)
Sultan Otteman Mahmud Perkasa Alam (5 Mei 1998–21 Juli 2005)
Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam (22 Juli 2005–saat ini)
 
 
Sejarah Kesultanan Deli
 
Menurut Hikayat Deli, seorang pemuka Aceh bernama Muhammad Dalik berhasil menjadi laksamana dalam Kesultanan Aceh.
 
Muhammad Dalik, yang kemudian juga dikenal sebagai Gocah Pahlawan dan bergelar Laksamana Khuja Bintan, adalah keturunan dari Amir Muhammad Badar ud-din Khan, seorang bangsawan dari Delhi, India yang menikahi Putri Chandra Dewi, putri Sultan Samudera Pasai.
 
Pada tahun 1632, Dalik mendirikan Kesultanan Deli yang awalnya masih di bawah Kesultanan Aceh.
 
Baca Juga: Nuansa Magis Meriam Puntung di Istana Maimun

Setelah Dalik meninggal pada tahun 1653, putranya, Tuanku Panglima Perunggit, mengambil alih kekuasaan dan pada tahun 1669 memisahkan kerajaannya dari Aceh, menjadikan Labuhan sebagai ibu kotanya.
 
Pertentangan dalam pergantian kekuasaan pada tahun 1720 memicu pecahnya Deli, membentuk Kesultanan Serdang.
 
Meskipun Kesultanan Deli kemudian direbut oleh Kesultanan Siak dan Aceh, ia tetap mempertahankan identitas dan wilayahnya.

Masa Kolonial Belanda
 
Pada tahun 1858, Tanah Deli menjadi milik Belanda setelah Sultan Siak, Sultan Al-Sayyid Sharif Ismail, menyerahkan kekuasaannya kepada mereka.
 
Kesultanan Deli kemudian diakui sebagai negara merdeka dari Siak dan Aceh pada tahun 1861, memberikan Sultan Deli hak untuk memberikan tanah kepada Belanda dan perusahaan-perusahaan asing.
 
Baca Juga: Istana Maimun, Perpaduan Arsitektur Melayu Deli Plus Islam, Spanyol, India, Belanda dan Italia

Pada masa ini, Kesultanan Deli berkembang pesat, terutama dalam sektor perkebunan tembakau.
 
Tembakau Deli, sebagai komoditas unggul, menjadi sangat bernilai di pasar internasional.
 
Jacobus Nienhuys, melalui perusahaan Deli Maatschappij yang didirikannya pada tahun 1870, menjadi "raja tembakau Deli" pada awal abad ke-20.
 
Tembakau Deli mendominasi pasar, bahkan menyumbang sebagian besar impor tembakau cerutu Amerika Serikat.

Sultan Ma'moen Al Rasyid (1873-1924) memainkan peran penting dalam mengelola Kesultanan Deli selama masa kolonial Belanda.
 
 
Dia memperkenalkan perubahan dalam sistem pemerintahan dan ekonomi, mengembangkan pertanian dan perkebunan dengan berkolaborasi dengan pihak swasta.
 
Keuntungan yang dihasilkan dari sektor perkebunan digunakan untuk memperbaiki fasilitas pemerintahan dan kemajuan masyarakat.

Pada akhir abad ke-19, Kesultanan Deli tampil sebagai pusat ekonomi yang makmur dan berpengaruh di Sumatera Utara, menciptakan warisan budaya dan ekonomi yang kaya.
 
 
Meskipun pengaruh Belanda cukup besar, kesultanan tetap mempertahankan ciri khasnya dan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan sejarah dan kebudayaan daerah tersebut.
 
Kesultanan Deli, dengan sederetan Sultan yang bijaksana, terus hidup dalam ingatan sebagai bagian integral dari sejarah Sumatera Utara.
Peninggalannya masih terpatri hingga kini, Istana Maimun atau Istana Maimoon

 
 

Tags

Terkini