Selain menjadi tempat perayaan, kelenteng Hok Tjing Bio yang berdiri sejak 1962 juga menjadi tempat ibadah umum bagi umat Buddha.
Pada hari biasa, kelenteng ini mungkin lebih sepi, tetapi tetap menjadi tujuan wisata bagi mereka yang ingin menikmati keindahan dan kedamaian Pulau Kemaro.
Tepat tengah malam, ketika perayaan Cap Go Meh mencapai puncaknya, pengunjung memadati kelenteng untuk beribadah dan membakar hio sebagai tanda penutupan perayaan tahun baru.
Suasana spiritual ini memberikan kesan sakral yang menguatkan makna kebersamaan dan kepercayaan di antara masyarakat Palembang yang beragam budaya dan agamanya.
Pulau Kemaro, dengan segala kisah dan keindahannya, tetap menjadi tempat yang memikat hati dan menyatukan orang-orang dari berbagai latar belakang.
Baca Juga: Wisatawan Mancanegara Hadir, Rayakan Cap Go Me di Pulau Kemaro
Namun, Pulau Kemaro bukan hanya tentang kisah cinta dan perayaan budaya.
Pulau ini juga menyimpan jejak sejarah yang kaya dan kehidupan masyarakat yang beragam.
Meskipun tempatnya menjadi pusat perayaan Cap Go Meh, kehidupan sehari-hari di Pulau Kemaro masih terasa sangat alami.
Perkampungannya diisi dengan rumah-rumah kayu yang terpisah jauh, memberikan kesan alami yang sesungguhnya.
Masyarakatnya hidup dengan bertani dan menjalani kehidupan sehari-hari dengan sederhana, meskipun terkadang diwarnai dengan riuhnya keramaian perayaan budaya.
Pulau Kemaro juga memiliki makam Tan Bun An dan Siti Fatimah yang menjadi tempat ziarah bagi para pengunjung yang datang ke pulau ini.
Di antara pepohonan yang rindang dan sungai yang mengalir, makam ini menjadi saksi bisu dari cinta yang abadi antara dua insan yang berasal dari budaya dan latar belakang yang berbeda.
Keberadaan makam ini juga menambah kesan mistis dan sakral dari Pulau Kemaro.
Tak hanya sebagai tempat perayaan dan tempat berziarah, Pulau Kemaro juga menjadi destinasi bagi pasangan muda yang mencari berkah dan keberuntungan dalam perjalanannya menuju kehidupan berumah tangga.