Meskipun sudah tidak aktif digunakan sejak masa pemerintahan Pakubuwono Ke X sekitar tahun 1900, jam ini tetap menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan spiritual di Masjid Agung Keraton Surakarta.
Selain memiliki nilai historis dan fungsional, Jam Matahari ini juga menjadi daya tarik bagi wisatawan yang berkunjung ke masjid ini.
Baca Juga: Mesjid Istiqlal, Butuh 17 Tahun Pembangunan di Bekas Benteng Frederick Hendrik, HUT-nya 22 Februari
Sebagai simbol kearifan lokal dan kekayaan budaya, jam ini mengajarkan kita akan pentingnya memahami dan menghargai warisan leluhur kita, serta bagaimana teknologi modern dapat mengubah dan melengkapi, bukan menggantikan, keindahan tradisi-tradisi masa lalu.
Dalam segala keagungan dan kemegahan Masjid Agung Keraton Surakarta, Jam Matahari tetap bersinar sebagai simbol keabadian dan kebijaksanaan masa lalu yang terus hidup dalam alam pikiran dan perasaan kita.