pariwisata-kebudayaan

Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan”: Teater yang Membangkitkan Kembali Api Seni di Palembang

Sabtu, 18 Oktober 2025 | 05:48 WIB
Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan”: Teater yang Membangkitkan Kembali Api Seni di Palembang (Dok)

KeitikPos.com, Palembang — Di balik tirai panggung Gedung Graha Budaya Jakabaring, aroma dupa samar-samar tercium, berpadu dengan ketegangan para pemain yang menunggu giliran tampil. Sorot lampu menembus kabut tipis dari mesin asap. Sesaat kemudian, suara tabuhan gendang dan lantunan syair Melayu membuka kisah yang mengguncang batin: “Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan.”
Begitu tirai dibuka, penonton terdiam. Di hadapan mereka, sejarah lama Palembang seakan hidup kembali — masa ketika seorang sultan menentang penjajahan, mempertaruhkan segalanya demi harga diri dan kemerdekaan bangsanya.
Pementasan ini bukan sekadar pertunjukan seni. Ia adalah seruan untuk mengingat, perlawanan terhadap lupa, dan pengakuan atas keberanian yang pernah bersemayam di bumi Sriwijaya.
Tiket Ludes, Antusiasme Meledak
Hari pertama pementasan yang digelar pada Jumat (17/10/2025) itu diserbu penonton dari berbagai kalangan: pelajar, seniman, akademisi, pejabat daerah, hingga keluarga muda yang ingin memperkenalkan sejarah kepada anak-anak mereka.
“Rasanya seperti menonton kebangkitan,” ujar Nani, seorang guru sejarah SMA yang datang bersama murid-muridnya. “Anak-anak saya selama ini hanya tahu nama Sultan Mahmud Badaruddin II dari buku pelajaran. Tapi malam ini, mereka bisa melihat perjuangannya dengan mata kepala sendiri.”
Dari 3.500 tiket yang disiapkan panitia, lebih dari 90 persen sudah terjual bahkan sebelum pentas perdana usai. Beberapa penonton bahkan rela berdiri di belakang ruangan demi menyaksikan lakon yang telah disiapkan selama berbulan-bulan ini.
Kisah dari Balik Panggung: Ketangguhan Para Seniman Muda
Di balik sorotan lampu, kerja keras tak kalah intens berlangsung. Vebri Al-Lintani, penulis naskah sekaligus sutradara, tampak memantau jalannya adegan dari sisi panggung.
“Pagi tadi masih ada beberapa kekurangan,” ujarnya sambil tersenyum lelah namun puas. “Tapi sore hari kami langsung perbaiki. Melihat penonton seantusias ini, rasanya haru sekali.”
Vebri bercerita, latihan sudah dimulai sejak beberapa bulan lalu. Para pemain — sebagian besar anak muda Palembang — berlatih dengan disiplin tinggi, meski fasilitas sering kali terbatas.
“Saya sangat bangga. Mereka ini bukan aktor profesional yang hidup dari teater, tapi mereka punya tekad dan cinta besar pada seni. Itu yang membuat semuanya hidup,” katanya.

Baca Juga: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan”: Ketika Napas Perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II Menyala di Panggung Palembang
Pertunjukan ini dijadwalkan berlangsung selama lima hari dengan delapan kali penayangan. Untuk menjaga stamina pemain, tim produksi menyediakan vitamin dan makanan bergizi setiap hari. “Yang penting kesehatan, semangat, dan kewarasan tetap terjaga sampai akhir,” tambah Vebri.
Ekosistem Teater yang Masih Rapuh
Namun, di balik gemerlap kesuksesan itu, Vebri mengungkap kenyataan getir yang dihadapi dunia teater di Palembang.
“Kalau boleh jujur, kami ini seperti menanam di tanah tandus,” katanya lirih. “Ekosistem teater di sini masih lemah. Sulit mencari aktor, apalagi fasilitas yang layak.”
Ia menyoroti kondisi Gedung Graha Budaya Jakabaring yang menjadi tempat pertunjukan.
“Dari luar tampak megah, tapi di dalam banyak kursi rusak, sirkulasi udara panas, dan panggung belum standar. Padahal, seharusnya ini rumah bagi seniman,” ujarnya.
Kritik itu bukan untuk menuntut semata, melainkan untuk mengingatkan bahwa seni adalah pilar peradaban yang tak kalah penting dari sektor lain.
“Kalau dibandingkan dengan olahraga, seni jauh tertinggal. Fasilitas olahraga di Jakabaring megah dan lengkap, tapi kesenian hanya punya satu gedung yang kondisinya memprihatinkan. Ini tidak logis kalau seni terus dikesampingkan,” tegasnya.
Seni sebagai Nafas Kebudayaan
Bagi Vebri, dukungan terhadap seni bukan sekadar soal fasilitas, tetapi tentang membangun ruang hidup bagi jiwa-jiwa kreatif muda.
“Kalau ada gedung yang layak dan komunitas yang hidup, kita tidak akan kesulitan mencari aktor baru. Teater itu bukan hanya hiburan, tapi juga tempat mendidik jiwa, membentuk karakter, dan menjaga warisan budaya,” ujarnya.
Sementara itu, Fir Azwar, produser pertunjukan, menyebut karya ini sebagai pertunjukan teater terbesar di Sumatera Selatan dalam 15 tahun terakhir.
“Selama ini hampir tak ada pertunjukan sebesar ini. Hari pertama saja dua kali pentas, dan semua kursi terisi penuh,” ungkapnya.
Menurut Fir, keberhasilan ini menandai kebangkitan gairah seni di Palembang setelah lama terpendam. “Masyarakat haus akan tontonan berkualitas, dan teater ini menjawab kebutuhan itu.”
Lebih dari Sekadar Pementasan
Ketika adegan klimaks menampilkan perlawanan SMB II terhadap penjajah, suasana gedung hening. Beberapa penonton tampak menitikkan air mata. Dalam diam, mereka seolah menyadari bahwa perjuangan Sultan bukan hanya milik masa lalu, tapi juga cermin keberanian menghadapi tantangan zaman.
“Sultan Mahmud Badaruddin II itu simbol keberanian dan harga diri,” kata Vebri. “Lewat teater ini, kami ingin menyalakan kembali semangat itu—bahwa orang Palembang, orang Indonesia, tak seharusnya tunduk terhadap keadaan.”
Pertunjukan berakhir dengan tepuk tangan panjang yang tak berhenti selama beberapa menit. Para pemain menunduk haru, sebagian tak kuasa menahan air mata. Di antara gemuruh tepuk tangan itu, terasa bahwa api kecil telah menyala—api yang mungkin akan menumbuhkan kembali kehidupan seni di Sumatera Selatan.
Api yang Tak Pernah Padam
Malam semakin larut, namun di halaman gedung, para penonton masih enggan pulang. Mereka saling berbincang, berfoto, dan mengulang-ulang adegan favoritnya.
Bagi banyak orang, teater ini bukan hanya tontonan, melainkan pengingat bahwa kebanggaan terhadap budaya sendiri tidak boleh padam.
“Semoga pertunjukan ini menjadi api kecil yang menyalakan kembali semangat kesenian di Sumatera Selatan,” ujar Vebri, menatap panggung yang mulai gelap.
Dan di sana, di tengah gemuruh tepuk tangan yang perlahan reda, satu pesan tertinggal: seperti Sultan Mahmud Badaruddin II, seni di Palembang adalah harimau yang tak dapat dijinakkan.

Tags

Terkini