Baca Juga: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan”: Teater yang Membangkitkan Kembali Api Seni di Palembang
Antusiasme Tak Surut, Gedung Selalu Penuh
Menurut Vebri, rata-rata 320 penonton hadir di setiap pertunjukan, baik sesi pagi maupun sore.
Bahkan setelah pertunjukan berakhir, banyak penonton masih bertahan di kursi, seolah belum rela perjalanannya bersama sang Sultan berakhir.
“Setiap hari penuh. Antusiasnya luar biasa. Meski durasi dua jam lebih, penonton tetap fokus, tertib, dan menikmati,” ujarnya.
Pementasan ini sukses memadukan drama, musik, koreografi, dan nilai-nilai lokal dalam satu rangkaian visual yang memikat.
Dari adegan peperangan, intrik istana, hingga dialog reflektif antara tokoh, semuanya disusun dengan detail — membawa suasana Palembang abad ke-18 kembali hidup di atas panggung modern.
Menuju Pentas Penutup
Pementasan terakhir akan digelar Selasa (21/10/2025) dengan dua kali pertunjukan spesial.
Rencananya, sejumlah tokoh daerah, termasuk Direktur Utama Pasar Palembang Jaya dan pejabat lainnya akan turut hadir.
“Kami ingin menutup dengan kesan mendalam. Karena ini bukan akhir dari cerita Sultan Mahmud Badaruddin II, tapi awal dari kebangkitan kesadaran sejarah melalui seni,” kata Vebri.
Seni yang Menghidupkan Sejarah
Melalui teater ini, sejarah tak lagi beku di halaman buku. Ia bernyanyi, menari, dan berdialog di atas panggung.
Sultan Mahmud Badaruddin II bukan hanya sosok masa lalu — ia menjadi refleksi keberanian masa kini.
Di tengah derasnya arus modernitas, “Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan” menjadi panggilan untuk kembali mengenal jati diri, sekaligus pengingat bahwa perjuangan dan cinta tanah air bisa diajarkan lewat cara yang indah: lewat seni pertunjukan.
Seni bukan sekadar tontonan. Ia adalah pelajaran hidup yang mengajarkan keberanian, kejujuran, dan cinta pada akar sejarah sendiri. Komunitas Batanghari Sembilan (Kobar 9), melalui pementasan karya ini telah meninggalkan jejak massa lalu bagi masa kini, dan masa yang akan datang.