pariwisata-kebudayaan

Nila Utama, Tokoh Melayu Asal Bukit Siguntang yang Terlupakan di Kampung Halamannya

DNU
Selasa, 28 Februari 2023 | 11:36 WIB
Patung di Museum Nila Utama di Singapura. Disebutkan berasal dari Palembang. Tapi di Palembang sendiri jejaknya seakan menghilang. (tangkapan layar

Ketikpos.com. Nama Nila Utama, boleh dikenal sebagai tokoh Melayu. Dihormati dan dipatrikan di Singapura, Riau dan daerah lainnya. Tapi justru di tempat asalnya, BUkit Siguntang yang ada di Palembang, namanya seakan raib ditelan bumi. Jejaknya seakan terhapus dan tak terlihat.

Menurut sejarawan dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr Dedi Irwanto, SS, MA jejak Sang Nila Utama di Palembang sama sekali tidak pernah di-“konkrit”-kan seperti di Singapura.

Jejak Sang Nila Utama di Kota Palembang, terutama di Bukit Siguntang menurutnya masih sangat abu-abu. Kalau tidak mau dikatakan gelap. Seakan tak ada kepedulian akan tokoh pemersatu pan-Melayuisme ini.

“Jangankan untuk buat peradaban budaya. Hanya untuk membangkitkan kegiatan wisata di Palembang dari narasi yang' 'telah ada' pun tidak ada pikiran sama sekali,”katanya.

Secara teoritis menurutnya dalam dunia Melayu membangun peradaban adalah tanggung jawab pemimpin masyarakat .

“Jadi tidak semua orang mampu mengembannya. Seperti pepatah Melayu tentang pemimpin: 'orang yang didahulukan selangkah, ditinggikan seranting', orang yang dipercaya, orang yang dalam bahasa agama disebut dengan 'Innama bu'istu liutam mimmna' (Sesungguhnya tidak diutus (Muhammad SAW) kecuali untuk memperbaiki akhlak (peradaban).

Artinya, pemimpin dalam dunia Melayu sangat dikultuskan dan akan diriwayatkan secara turun-temurun laksamana Sang Nila Utama membangun Singapura,” katanya.

Selain itu Sang Nila Utama menurutnya adalah pembangun peradaban Melayu yang sungguh luar biasa karyanya.

Sang Nila Utama dan anak cicitnya adalah pemimpin besar maka pewaris Sang Nila Utama saat ini di Kota Palembang harusnya menjiwai Sang Nila Utama masa lalu. Bukan pemimpin yang tak teguh memegang amanah dan sumpah setia, pemimpin yang tak terpancing oleh maksud-maksud orang yang menangguk di air keruh, bukan pemimpin nan tak tahu asal-usulnya.

"Jika ada pemimpin seperti ini bersiaplah nanti akan berakibat di makan sumpah Melayu (cepat atau lambat dimakan 'bisa keris' (biso kowi) dalam arti, ke atas tidak berpucuk, ke bawah tidak berurat, di tengah digigit kumbang,” kata doktor alumnus UGM ini.

Pada filosofi Melayu, menurut Dedi, jika pemimpin ada berlaku seperti di atas, kemudian ditambah kurang terurus hak cagar budaya (ulayat), gedung-gedung cagar budaya (ulayat) dan segala isinya, lembaga dan peninggalan sejarah, pusaka kebesaran adat dan pusaka tinggi daerah ditelantarkan dengan penggunaannya tanpa ada permusyawarahan.

Dengan memberlakukan dan mengandalkan kekuasaan sendiri atau otoriter.

“Selayak adat tanpa dimusyawarahkan secara bersama dengan unsur tali bepilin tiga (tigo tungku sejarangan) dengan dilengkapi berita acara kesepakatan masyarakat negeri maka menurut hemat saya, Forwida harus tampil ke depan memimpin agar cagar budaya dapat dijadikan destinasi wisata mandiri dengan mengutamakan filosofis Melayu lainnya

“Kukuk ayam yang didengar, piagam yang dipegang. Kalau ini bisa dilakukan oleh Forwida maka marwah Pan-Melayuisme dalam Dunia Pariwisata berbasis Melayu di Palembang dan Sumatera Selatan tak sulit untuk diwujudkan. Begitupun 'hanya sekedar' menghadirkan patung Sang Nila Utama seperti di Singapura pada Lereng Bukit Siguntang setinggi Jembatan Ampera bukan sesuatu yang sulit,” katanya.

Halaman:

Tags

Terkini