Ketua KPU Mengajarkan Parpol Mengakali Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024**

photo author
DNU
- Minggu, 12 Mei 2024 | 13:48 WIB
Ahmad Alfarizy & Nur Fauzi Ramadhan Pemohon dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024
Ahmad Alfarizy & Nur Fauzi Ramadhan Pemohon dalam Perkara Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024

Jakarta, 10 Mei 2024 - Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Hasyim Asy'ari, memaparkan langkah yang diambil KPU sebagai respons terhadap Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XXII/2024. Pernyataan ini mengacu pada tanggal 8 Mei 2024, di mana Hasyim Asy'ari menyatakan bahwa caleg terpilih yang turut serta dalam Pilkada tidak diwajibkan untuk mundur dari jabatannya. Selain itu, dia juga mengumumkan rencana pelantikan susulan bagi caleg terpilih yang gagal dalam Pilkada. Langkah-langkah ini menandakan bahwa ke depannya, caleg terpilih yang menjadi peserta Pilkada tidak akan dilantik bersamaan dengan caleg lainnya sesuai dengan jadwal pelantikan pada Pemilu 2024 yang telah diatur dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2022.

*Kewajiban Mundur Bagi Caleg Terpilih yang Menjadi Peserta Pilkada*

Sebagai pihak yang mengajukan perkara di Mahkamah Konstitusi dengan Nomor 12/PUU-XXII/2024, kami telah menegaskan pentingnya regulasi yang mengharuskan caleg terpilih yang menjadi peserta Pilkada untuk mundur dari jabatannya. Tujuan dari regulasi ini adalah untuk memastikan bahwa Pemilu 2024 tidak hanya menjadi ajang untuk mempertahankan jabatan legislatif secara pragmatis. Sebelumnya, kami telah mencatat bahwa salah satu alasan pemajuan Pilkada ke bulan September adalah untuk melindungi posisi caleg terpilih yang menjadi peserta Pilkada agar tidak perlu mundur dari jabatannya. Dengan dasar tersebut, Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum Putusan 12/PUU-XXII/2024 paragraf 3.13.3 mengakomodasi dengan melarang pemajuan jadwal Pilkada ke bulan September.

Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan hukum paragraf 3.13.1 Putusan 12/PUU-XXII/2024 juga telah menekankan perlunya KPU untuk mewajibkan caleg terpilih yang menjadi peserta Pilkada untuk menyampaikan surat pernyataan bersedia mundur setelah dilantik. Ketentuan ini tidak muncul begitu saja. Kami sebagai pihak yang mengajukan perkara tersebut memahami dengan baik pertimbangan dan alur berpikir Mahkamah terkait masalah ini. Mahkamah pada satu sisi ingin konsisten dengan Putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 untuk menciptakan Pilkada yang adil bagi semua peserta. Di sisi lain, Mahkamah juga ingin memastikan hak dari caleg terpilih untuk dilantik sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan sebelumnya.

*Akal-akalan Ketua KPU*

Namun, secara memprihatinkan, Ketua KPU justru tampaknya mencari jalan untuk memuluskan kepentingan caleg terpilih yang menjadi peserta Pilkada agar tidak perlu mundur dari jabatannya dan tetap dapat dilantik setelah kekalahan dalam Pilkada. Hasyim Asy'ari kemudian memanipulasi frasa "jika telah dilantik", dengan mengubah waktu pelantikan dan menunggu hasil Pilkada. Seolah-olah menciptakan rencana cadangan, pernyataan Ketua KPU kemudian menggambarkan skema baru untuk melindungi posisi caleg terpilih yang menjadi peserta pilkada, yaitu dengan merencanakan pelantikan susulan bagi mereka. Hal ini didasarkan pada klaim bahwa tidak ada ketentuan yang mewajibkan pelantikan dilakukan secara serentak. Hal ini jelas menunjukkan usaha Ketua KPU untuk memperkuat kepentingan caleg terpilih agar tidak perlu mundur saat menjadi peserta Pilkada dan masih dapat dilantik setelah kekalahan dalam kontestasi Pilkada.

Pertama, tindakan ini menunjukkan bahwa Ketua KPU cenderung memihak kepada kepentingan caleg terpilih agar tidak perlu mundur saat menjadi peserta Pilkada dan masih bisa dilantik setelah kekalahan dalam kontestasi Pilkada, bahkan dengan menunda atau mengundur pelantikan mereka. Padahal, KPU sendiri yang telah menetapkan jadwal pelantikan caleg terpilih berdasarkan Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2022. Ini berarti tidak ada kebutuhan untuk aturan tambahan yang mengatur pelantikan dilakukan secara serentak. PKPU 3/2022 sudah seharusnya menjadi pedoman yang mengikat bagi semua peserta dan penyelenggara Pemilu untuk melantik caleg terpilih sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan. Dalam Peraturan KPU 3/2022 diatur bahwa pelantikan anggota DPR dan DPD hasil Pemilu 2024 akan dilakukan secara bersama-sama atau serentak pada 1 Oktober 2024.

Melantik caleg terpilih setelah kekalahan dalam Pilkada jelas menunjukkan bahwa KPU sedang memainkan aturan yang mereka buat sendiri, melawan perintah Mahkamah Konstitusi, bahkan menunjukkan adanya kesepakatan yang direncanakan sejak awal karena kegagalan pemajuan jadwal Pilkada.

Kedua, Ketua KPU yang telah beberapa kali mendapat sanksi dari DKPP tampaknya mengajarkan parpol cara menghindari jadwal pelantikan. Dengan dalih bahwa caleg dicalonkan oleh parpol, demikian juga dengan kepala daerah, Hasyim Asy'ari menyiratkan bahwa parpol dapat mengajukan surat yang menyatakan bahwa calon terpilih belum dapat hadir dalam pelantikan (pengucapan sumpah jabatan).

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Rekomendasi

Terkini

Kejaksaan RI telah Bertransformasi & Mereformasi Diri

Rabu, 19 November 2025 | 12:23 WIB
X