KetikPos.com – Pesta demokrasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota (Pilkada) tahun 2024 yang diselenggarakan secara serentak, saat ini telah memasuki tahapan masa kampanye dan pelaksanaannya telah diatur menurut ketentuan Peraturan KPU Nomor 13 Tahun 2024 tentang Kampanye.
Berdasarkan PKPU 13 Tahun 2024 Tentang Kampanye Pilkada, disebutkan kampanye adalah kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menawarkan visi, misi, dan program Calon Gubernur dan Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota. Dan kampanye ini dilaksanakan sebagai wujud dari pendidikan politik masyarakat yang dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam Pemilihan.
Namun demikian dalam prakteknya tidak jarang materi dan pelaku kampanye menyebarkan tentang hal-hal yang negatif untuk menyudutkan lawan politik, bahkan ada yang masuk dalam kategori kampanye hitam (black campaign).
Apa Beda Kampanye Hitam dan Kampanye Negatif?
Praktisi Hukum Mualimin Pardi Dahlan selaku Managing Partner MPD Law Firm, dalam kesempatan wawancara menjelaskan bahwa kampanye hitam itu menuding lawan dengan tuduhan palsu yang belum terbukti sah kebenarannya atau tanpa didukung data yang sahih dan mengada-ada, dan biasanya dilakukan oleh oknum pelaku yang tidak jelas dengan tujuan menghancurkan karakter seseorang, sementara kampanye negatif itu adalah tindakan menunjukkan kesalahan atau kelemahan pihak lawan berdasarkan data-data yang sahih, dan biasanya dilakukan oleh pelaku kampanye yang jelas dan bahkan terang-terangan dengan tujuan untuk menyudutkan sisi kelemahan lawan.
Dengan pengertian itu, Mualimin yang biasa dipanggil Cak Apenk ini berpendapat “Bahwa kampanye negatif itu sebetulnya sah-sah saja dilakukan, misal ada yang menyebut pemerintahan saat ini mengalami defisit keuangan atau pihak lawan disebut mantan narapidana, sepanjang didukung data yang benar dan valid hal itu justru baik bahkan dapat membantu pemilih untuk menemukan kualitas calon pemimpin dalam menentukan pilihannya, sehingga ini sejalan dengan kehendak pemilih cerdas yang seringkali diungkap dan dikehendaki oleh calon.”
“Sementara kampanye hitam itu sesat, tindakan-tindakan seperti menghasut atau fitnah tanpa dasar sebaiknya dihindari karena ini tidak mendidik dan merusak nilai-nilai demokrasi kita, contoh di Pilkada Palembang ada beredar flyer ‘Ibu Cukup Menata Rumah’, yang seakan-akan dilakukan oleh calon tertentu, itu bisa masuk kategori hasut atau fitnah jika memang bukan dibuat dan dilakukan oleh yang dituduhkan tadi, dan ini bisa dikenakan pidana sebagaimana diatur Pasal 187 ayat (2) UU Pilkada dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 bulan paling lama 18 bulan, termasuk jika pelakunya bukan tim kampanye, orang per orang juga bisa diancam pidana 6 tahun penjara dengan UU ITE”, jelas Mualimin.
Untuk menjaga kualitas demokrasi yang sehat, bersih, dan berkeadilan, Cak Apenk juga mengingatkan perlu tindakan kehati-hatian atas potensi munculnya kecurangan selama tahapan Pilkada berlangsung yakni netralitas ASN dan politik uang. “hati-hati dengan netralitas ASN dan tindakan money politic, dua hal ini saya kira perlu menjadi perhatian serius selain ini dapat dikenakan sanksi pidana”, tutupnya.