KetikPos.com - Sejak 2017, Indonesia menyaksikan kehilangan yang menyentuh hati: sebanyak 11 bahasa daerah dinyatakan punah.
Bahasa, bukan sekadar alat komunikasi, melainkan sebuah cermin budaya yang mencerminkan identitas dan kearifan masyarakat.
Dalam sorotan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, ini adalah seruan kepedulian terhadap warisan yang semakin terancam.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menggambarkan bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang membentuk kehidupan masyarakat, menciptakan kolaborasi, interaksi, dan identitas.
Bahasa adalah lebih dari kata-kata; ia menciptakan percakapan, membentuk perilaku, dan mencerminkan adab suatu bangsa.
Keberagaman bahasa daerah di Indonesia memperkaya tanah air ini. Namun, perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa daerah sering menimbulkan tanda tanya.
Bahasa ibu, yang dipelajari tanpa proses formal, sering kali menjadi bahasa daerah bagi anak-anak di Indonesia. Tetapi di perkotaan, bahasa Indonesia lebih mendominasi.
Kepala Pusat Riset Preservasi Bahasa dan Sastra, Katubi, menjelaskan perbedaan antara bahasa ibu dan bahasa daerah.
Bahasa ibu diperoleh tanpa pembelajaran formal, sementara bahasa daerah merupakan tuturan masyarakat di wilayah tertentu.
Kehilangan bahasa daerah bukan hanya kehilangan kata-kata, tetapi juga kehilangan kearifan dan identitas budaya.
Data Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mencatat sejak 2017, 11 bahasa daerah telah punah.
Bahasa Tandia dan Air Matoa di Papua Barat, serta Mapia dan Mawes di Papua, menjadi bagian dari kisah pahit ini.
Ancaman semakin terasa dengan menurunnya minat generasi muda menggunakan bahasa daerah.
Survei BPS pada 2023 mencatat hanya 61,70 persen generasi Post Gen Z menggunakan bahasa daerah. Perkawinan lintas suku dan bangsa menjadi pemicu utama penurunan minat ini.