Selain bisa menambah, Rudi memang pandai mengurang, mengali sekaligus membagi.
Tidak seperti orang kebanyakan, yang biasanya sulit ketika diminta untuk membagi.
Itulah pula yang membuat Rudi selalu diajak bermain ekar meskipun teman-temannya selalu kalah dan kehabisan modal.
Rudi tak segan-segan memberi pinjaman bahkan terkadang memberi modal kepada temannya yang kalah.
Atau terkadang teman yang ingin main tapi tak punya ekar pun diberinya modal.
”Nanti juga kan baliknya ke saya juga. Saya ada hitung-hitungan. Tak bisa mengembalikan dengan ekar juga, pake uang juga bisa. Atau dengan bayaran lain, bersedia disuruh-suruh juga tak apa,” pikir Rudi bergumam ketika sedang berada di kamar kecil rumahnya yang ukurannya cukup luas.
Ayahnya yang berada memang tak kekurangan untuk memberikan apapun bagi anaknya.
Termasuk makanan bergizi dan enak.
Mungkin karena faktor tertentu saja, Rudi pun tumbuh lamban secara fisik.
Meskipun ternyata pertumbuhan akalnya justru berbanding terbalik.
Ketika sudah sekolah, warga di kampung itu bersyukur karena ternyata Rudi cukup pintar.
Masih kelas I, dia sudah bisa membaca. Diminta gurunya menghitung, lebih dari seribu dia sudah bisa.
Apalagi, kalau menghitung uang kembalian di warung, dia sering diminta bantuan kala kalkulator Wak Lam, warung laris di kampungnya ngadat.
Juga, kalau ada Wak Lintai, penjual pempek keliling yang agak sulit menghitung kembalian kalau uang yang disodorkan di atas 20 ribuan.