opini-tajuk

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB
beringin di pinggir lubai (dok)

BUDAYA NGULE

Desa Beringin Lubai tempo doeloe masyarakatnya homogen keturunan suku Lubai Melayu, sistem perkawinannya patrilinial, sang istri ikut suami, garis keturunan berdasarkan nasab laki-laki memang ada kadang kala karena kondisi tertentu sang suami ikut istri, tatkala suatu keluarga mememiliki anak puteri tunggal.

Orang tuanya tidak boleh puterinya setelah menikah ke luar rumah ikut suami dengan alasan agar tetap ada yang mengurus mereka nantinya bila sudah usia lanjut.

Pernikahan tersebut namanya Ngambek Anak, namun biasanya sang istri memberikan sejumlah uang berupa uang jujur atau pinangan saat menjelang pernikahan kepada calon sang suami.

Secara umum pada masa menjalin asmara antara seorang bujang dengan gadis, dalam perjalanan hubungan kasih sampai ke jenjang pernikahan untuk kurun waktu cukup lama sang bujang menjalani masa ngule terhadap keluarga gadis.

Pada masa ngule ini sang bujang menjalani ujian kesetiaan dari perbuatan berupa pengorbanan fisik maupun materi, untuk melihat apakah memang benar secara tulus sang bujang mau dan mencintai sang gadis dengan setulus hati.

Adapun bentuk ngule yang dilakukan sang bujang, seperti membantu orang tua gadis kekasihnya, tebang tebas membuka ladang, membantu nanam padi atau nugal bahkan memberi makanan, atau pekerjaan lainnya yang dilakukan secara suka rela, sebagai bentuk pengabdian kepada sang kekasih dan keluarga dengan harapan akan mendapatkan simpati.

Masa ngule waktunya tergantung situasi dan kondisi walaupun bisa memakan waktu cukup lama bertahun-tahun, dan bukan jaminan untuk berjodoh sampai ke mahligai rumah tangga.

Setelah ngule dilihat dan dilakukan, menurut penilaian pihak keluarga gadis, baik, sang gadis mau dan orang tua gadis setuju maka sang bujang bisa melangkahkan kakinya ke jenjang pertunangan.

Jika hasil ngule yang didapat sebaliknya maka sang bujangpun harus dengan rela jika langkahnya terhalang oleh penolakan gadis atau restu orang tuanya dengan konsekwensi hubungan asmara yang sudah dibina dan berjalan dalam waktu tidak sebentar berakhir dengan kegagalan menuju rumah tangga yang di-idamkan.

Baca Juga: Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan: Lanjutan dari Bunga Rampai, Upaya Nyata Melestarikan Sejarah dan Budaya Desa
Namun agar kekeluargaan tetap jalan antara kedua belah pihak bisa saja hubungan dipererat dengan tali persaudaraan menjadi hubungan kekeluargaan kakak-adaik.

Manakala hubungan asmara berhasil berlanjut ke jenjang pernikahan tentunya banyak hal-hal yang perlu dirembukkan agar tercapai kesepakatan bersama, dan bisa berlangsung dengan baik penuh kekeluargaan maka kedua belah pihak menunjuk tua-tua keluarga sebagai perwakilan atau Kule untuk merembukkan masalah bersama atau perasanan.

Tatkala rembuk ini berlangsung terjadilah Kule Rasan duduk bersama membicarakan Rasan Kule, yaitu kegiatan rembuk kekeluargaan agar mencapai kesepakatan bersama untuk mencapai tujuan bersama diselingi bahasa kiasan yang halus dan santun penuh makna, yakni pantun bersahut, gayung bersambut.

Ngule merupakan perbuatan bujang memberikan pengorbanan fisik, materi bahkan pengorbanan emosional atau perasaan dalam kurun waktu tertentu seiring berjalannya waktu kepada kekasih sang pujaan hati dan keluarganya agar mendapatkan simpati dan restu berlabuh di mahligai pernikahan.

Halaman:

Tags

Terkini

Media: Arsitek Realitas di Era Digital

Rabu, 26 November 2025 | 08:12 WIB

Menjaga Wibawa Pendidikan dari Kriminalisasi Pendidik

Jumat, 24 Oktober 2025 | 14:09 WIB

Pelangi Beringin Lubai II: SIMBOLIS HUBUNGAN KEKERABATAN

Selasa, 23 September 2025 | 07:02 WIB

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB

Rusuh: Rakyat Selalu Dipersalahkan, Kenapa?

Jumat, 5 September 2025 | 17:48 WIB

BEDAH ALA KRITIKUS SASTRA

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:28 WIB

BENDERA PUTIH TLAH DIKIBARKAN

Senin, 25 Agustus 2025 | 16:11 WIB