"Melayu Bukan Sekadar Etnis, Tapi Peradaban" — Prof. OK Saidin Kumandangkan Gagasan Besar dari Palembang

photo author
DNU
- Sabtu, 19 Juli 2025 | 20:54 WIB
Penyerahan pataka (dok)
Penyerahan pataka (dok)

KetikPos.com --Gedung megah tempat pelantikan Ketua Pimpinan Wilayah MABMI Sumatera Selatan hari ini, Gedung Serba Guna Kembang Dadar, bergema oleh suara lantang Ketua Umum Pengurus Besar MABMI, Prof. Dr. OK Saidin, SH., M.Hum.
Dalam pidato panjang nan bernas, beliau tidak sekadar meresmikan kepengurusan baru, tetapi membangkitkan kembali semangat dan jati diri Melayu yang selama ini dianggap tenggelam dalam arus nasionalisme dan modernisasi yang tidak berpijak pada akar budaya sendiri.

Acara pelantikan ini juga menjadi ajang intelektual dan kultural yang sarat makna. Bukan hanya pejabat daerah seperti Wakil Gubernur Sumatera Selatan H. Cik Ujang, para tokoh adat, dan akademisi yang hadir, tetapi juga utusan dari Singapura, memperlihatkan luasnya jangkauan jaringan budaya Melayu serumpun.

Tampak hadir juga tokoh-tokoh seni dan budaya di Sumsel, seperti Sultan Palembang Darussalam, SMB iV M Fauwass Diraja, Ketua DKSS M Iqbal Rudianto dan Ketua DKP, M Nasir bersama Sekretaris DKP Faldy Lonardo, dan anggota Bidang Kerjasama Riki Wiryawan. Juga, beberapa budayawan Sumsel, yang ikut dilantik sebagai ketua, seperti Vebri Al Lintani dan Isnayanti.

Krisis Identitas Melayu: “Kita Bukan Lemah, Kita Kehilangan Instrumen Kekuasaan”

Dalam pidatonya, Prof. OK Saidin menyampaikan dengan tegas bahwa puak Melayu hari ini berada dalam posisi yang lemah secara struktural, bukan karena kekurangan kapasitas, melainkan karena kehilangan instrumen kekuasaan dan proteksi kultural.

“Kita ini bukan lemah, tapi kita kehilangan instrumen kekuasaan. Tergerus oleh modernisasi tanpa perlindungan budaya. Fragmentasi internal membuat Melayu tak punya kekuatan kolektif,” tegasnya dalam acara yang dihadiri segenap pengurus PW MABNI Sumsel yang diketuai Prof Dr Edward Juliarta, SSos, MM.

Ia juga menyoroti kondisi pasca-kemerdekaan, ketika struktur negara dibangun dengan semangat nasionalisme yang kuat namun mengorbankan banyak identitas lokal, termasuk Melayu. Kesultanan-kesultanan dibubarkan tanpa transisi, dan sumber daya ekonomi di kawasan Melayu dikuasai elit dari luar.

Melayu Adalah Mereka yang Beradat, Berbahasa Melayu, dan Beragama Islam

Mengutip puisi dari Tenas Effendy dan Gurindam 12 Raja Ali Haji, Prof. OK Saidin menegaskan bahwa Melayu bukan hanya etnik, tapi resam hidup. Ia menyebut Melayu sebagai siapa saja yang beradat, berbahasa Melayu, dan beragama Islam.

"Apa tanda Melayu jati, Bersama Islam hidup dan mati…" kutipnya, menandai bahwa kehidupan Melayu tak bisa dipisahkan dari syariat dan adat.

Menggali Kembali Kearifan Hukum Melayu: Kitab Simbur Cahaya

Pidato ini juga menjadi ruang edukasi sejarah yang tak banyak diketahui publik. Prof. OK Saidin mengangkat nama Ratu Sinuhun, Permaisuri Pangeran Sido Ing Kenayan dari Palembang, yang menyusun Kitab Undang-Undang Simbur Cahaya tahun 1630—sebuah perpaduan antara syariat Islam dan adat Melayu.

“Andai kitab ini dijadikan dasar pembentukan hukum nasional, tak akan terjadi kekacauan hukum seperti hari ini. Tapi karena kita mengambil hukum asing, jadilah hukum terasa represif dan kering,” ujarnya lantang.

Statistik yang Menggugah: Dari 270 Juta Penduduk Indonesia, Melayu Hanya 14 Juta

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Tags

Rekomendasi

Terkini

X