Bukan hanya tepuk tangan untuk keindahan, tapi untuk warisan yang tetap hidup di tubuh anak-anak muda Palembang.
Parade Bunyian: Dari Tradisi ke Frekuensi Baru
Tari Tanggai adalah satu dari 16 penampilan yang membuka Parade Bunyi’an 2025, sebuah festival seni yang bukan hanya menampilkan karya, tapi juga menyulam kembali hubungan generasi muda dengan akar budayanya.
Digagas oleh Komunitas Kawan Lamo bersama Dewan Kesenian Palembang, Parade Bunyi’an tahun ini menghadirkan pertunjukan dari berbagai cabang seni: musik, tari, instalasi suara, dan pertunjukan lisan, yang dikurasi untuk membentuk satu narasi kolektif tentang siapa kita dan ke mana kita ingin melangkah sebagai masyarakat seni.
“Kami ingin menciptakan ruang lintas bunyi—antara modern dan tradisional, antara kenangan dan imajinasi,” tutur M. Fitriansyah, Ketua Komunitas Kawan Lamo. “Dan Tanggai adalah simbol bahwa tradisi tak pernah mati. Ia hanya menunggu generasi baru untuk menghidupkannya kembali.”
Seni yang Menyentuh Urat Nadi Kota
Parade ini bukan hanya tentang panggung. Ia adalah napas kota. Ia menyelinap ke lorong-lorong ingatan dan membawa kembali suara nenek, dongeng kakek, dan harapan ibu—dibungkus dalam bunyi, gerak, dan cahaya. Dan di tengah semuanya, Tari Tanggai berdiri sebagai pusat gravitasi: tenang, elegan, dan penuh wibawa.
Masih Ada Hari Esok
Parade Bunyi’an 2025 masih akan berlangsung hingga Sabtu, 26 Juli 2025. Bagi warga Palembang dan sekitarnya, inilah kesempatan untuk datang, mendengar, dan merasa. Karena kadang, dalam dunia yang terlalu bising ini, kita butuh satu tarian sunyi—seperti Tanggai—untuk benar-benar mengingat siapa kita.