Bahasa Indonesia Dikritisi di Rakernas JKPI: Ketua DKP Palembang Ingatkan Nasionalisme Kebahasaan

photo author
DNU
- Rabu, 6 Agustus 2025 | 18:28 WIB
Ketua DKP, M Nasir mengkritisi penggunaan bahasa asing di Seminar Internasional JKPI (Dok)
Ketua DKP, M Nasir mengkritisi penggunaan bahasa asing di Seminar Internasional JKPI (Dok)

 

KetikPos.com— Rakernas XI Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI) yang tengah berlangsung di Hotel Tentrem Yogyakarta bukan hanya menjadi forum berbagi gagasan pelestarian warisan budaya, tapi juga memunculkan kritik konstruktif dari peserta dalam hal kebijakan kebahasaan.

Adalah M. Nasir, Ketua Dewan Kesenian Palembang (DKP), yang menyuarakan kegelisahannya dalam sesi tanya jawab bersama para ahli, seperti Dr. Daud Aris Tanudirjo (Arkeolog UGM, ahli Sumbu Filosofi), Mr. Joe Sidek (Penang Arts Council Malaysia), dan Moe Chiba (UNESCO Jakarta Office).

Baca Juga: Di Yogyakarta, Wali Kota Palembang Tegaskan Komitmen Jaga Warisan Pusaka: “Lestari Budayaku, Jendela Peradaban Dunia”

Dalam forum yang membahas arah baru pengelolaan dan pemberdayaan kota pusaka di Indonesia itu, M. Nasir mempertanyakan penggunaan bahasa asing dalam seminar internasional yang dihelat di tanah air.

Ia menegaskan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam forum-forum resmi internasional di dalam negeri adalah kewajiban hukum, bukan sekadar preferensi teknis.

“Ini soal nasionalisme. Perpres No. 63 Tahun 2019, Pasal 27 Ayat 1 sudah jelas menyebutkan: konferensi atau forum internasional di Indonesia wajib menggunakan bahasa Indonesia,” tegasnya, Rabu (6/8/2025).

Para pemateri seminar internasional JKPI
Para pemateri seminar internasional JKPI (Dok)

Ia melanjutkan, dalam ayat selanjutnya disebutkan bahwa bila narasumber adalah warga negara asing, maka panitia wajib menyediakan terjemahan dalam bahasa Indonesia. Bagi M. Nasir, hal ini bukan hanya perkara aturan administratif, melainkan indikator keseriusan bangsa dalam menghargai bahasa nasional—terutama saat membahas soal seni, budaya, dan warisan pusaka.

“Kalau kita bicara kota pusaka—yang sangat erat dengan identitas dan budaya—namun tidak menjunjung bahasa sendiri, bagaimana publik bisa percaya pada komitmen kita?”

Dalam sesi tersebut, M. Nasir juga menyentil arah dan pelibatan aktor dalam kegiatan heritage. Ia mempertanyakan apakah event-event bertema warisan budaya akan tetap berakar pada seni tradisi, ataukah justru dikombinasikan dengan unsur modern dan kontemporer.

Tak hanya itu, ia turut menyinggung soal inisiatif kegiatan heritage: apakah datang dari komunitas dan pelaku seni secara organik, atau lebih dominan dari program pemerintah yang bersifat top-down.

“Kita perlu tahu, siapa yang menginisiasi? Apakah komunitas dan seniman lokal diberi ruang cukup, ataukah hanya sebagai pelengkap dari program yang sifatnya administratif?” pungkasnya.

Suara kritis ini menjadi pengingat bahwa membicarakan kota pusaka bukan hanya soal infrastruktur fisik atau narasi sejarah, tetapi juga menyangkut substansi nilai-nilai kebangsaan dan ruang partisipasi kultural yang otentik.

Rakernas JKPI di Yogyakarta kali ini menjadi lebih dari sekadar forum diskusi, melainkan juga cermin refleksi akan tantangan ke depan: bagaimana menjaga pusaka budaya, sembari tetap berpijak pada akar bahasa dan identitas bangsa.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Tags

Rekomendasi

Terkini

X