KetikPos.com, Palembang — Tak banyak yang tahu, ternyata batik Palembang yang kini sering dipamerkan dalam berbagai festival budaya bukanlah warisan langsung dari masa Kesultanan Palembang Darussalam. Menurut Dr. Ikbal J. Permana, pemerhati budaya dan akademisi asal Palembang, motif batik Palembang justru berkembang pada periode Karesidenan Palembang, dan memiliki akar kuat dalam tradisi batik Jawa serta Cirebon.
“Mungkin batik motif Palembang itu muncul pada masa karesidenan, bukan periode kesultanan,” ujar Dr. Ikbal. “Mirip dengan batik Besemah, tapi sebenarnya batik itu tidak diproduksi di Besemah—dibuat di Jawa. Desainnya berasal dari motif grafis rumah Besemah.”
Menurutnya, hal itu menunjukkan bahwa identitas budaya tidak selalu ditentukan oleh lokasi produksi, melainkan oleh nilai dan simbol yang diangkat. Ia bahkan mencontohkan, Dewan Kesenian Palembang (DKP) bisa saja memiliki “batik DKP” meskipun dibuat di Yogyakarta, asal motifnya berasal dari logo atau identitas DKP.
“Secara asal, batik memang khas Jawa,” jelasnya. “Ada pakemnya. Dulu, saat kain jarik batik yang biasa digunakan untuk bawahan mulai dijadikan bahan baju pada tahun 1970-an, itu pun harus izin ke Hamengkubuwono IX.”
Baca Juga: Ratu Sinuhun, Warna Perempuan Palembang dalam Sepekan Seni 2025
Tak hanya soal batik, Dr. Ikbal juga menyoroti kesalahpahaman sejarah dalam seni tradisi Palembang, seperti Tari Gending Sriwijaya yang sering dianggap peninggalan zaman Sriwijaya atau Kesultanan Palembang Darussalam.
“Tidak ada catatan sejarah yang menyebutkan tari itu ada di masa kesultanan,” katanya. “Gending Sriwijaya itu karya periode Jepang—tari modern yang mencoba mengambil akar budaya lokal.”
Menariknya, ia membandingkan batik Palembang dengan Batik Basurek Bengkulu, yang benar-benar diproduksi oleh masyarakat setempat dan memiliki motif khas yang sangat berbeda dari batik Jawa.
“Motifnya 180 derajat beda dari batik Jawa atau Cirebon,” tuturnya sembari tersenyum. “Itu batik yang memang lahir dari tanahnya sendiri.”
Dalam pandangan Dr. Ikbal, masyarakat Palembang dikenal pandai dalam branding budaya. Ia mencontohkan Pasar Cinde, yang kini menjadi ikon kota, padahal dulunya merupakan pasar tradisional milik masyarakat Dusun Lingkis.
“Pasar Cinde itu asalnya pasar wong dusun Lingkis,” ujarnya ringan. “Baru setelah dibangun oleh pemerintah kota praja, diberi nama Pasar Cinde karena dekat dengan pekuburan Cinde Welan.”
Terakhir, Dr. Ikbal berpesan agar masyarakat Palembang mengakui dan menghargai proses adaptasi budaya sebagai bentuk kreativitas, bukan kelemahan.
“Akui saja, batik Palembang itu adaptasi dari Cirebonan yang kemudian berkembang jadi batik Jufri,” katanya. “Begitu juga batik Megamendung yang diklaim Cirebon, tapi sebenarnya milik keluarga Tionghoa di sana. Itulah kekayaan budaya Nusantara—saling beradaptasi, bukan saling meniadakan.”
Baca Juga: Batik yang Tersesat: Cerita Identitas Palembang di Kain Jawa
Dengan senyum khasnya, Dr. Ikbal menutup pembicaraan dengan satu kalimat reflektif:
“Wong Plembang ni galak klaim branding, tapi justru dari situ lahir identitas baru. Dan itu indah.”
budaya.