Wayang Kulit Palembang Menjaga Nyala Tradisi: Kisah Dalang Muda Wirawan Rusdi di Lawang Borotan

photo author
- Kamis, 27 November 2025 | 11:05 WIB
Wayang Palembang mentas di  pagi hari, Jumat (21/11) di pekan Seni 2025 di Lawang Borotan Palembang (Dok)
Wayang Palembang mentas di pagi hari, Jumat (21/11) di pekan Seni 2025 di Lawang Borotan Palembang (Dok)

 

KetikPos.com, Palembang-- Di tengah derasnya modernisasi yang terus menggerus tradisi, seni wayang kulit Palembang tetap berusaha menjaga bara hidupnya. Di balik upaya itu berdirilah sosok muda yang tak banyak bicara, namun kukuh memegang warisan leluhur: Wirawan Rusdi, dalang penerus Sanggar Sri Wayang Kulit Palembang.

Pada Jumat pagi (21/11/2025), halaman Lawang Borotan berubah menjadi ruang dialog budaya. Di sinilah Wirawan tampil bukan hanya sebagai dalang, tetapi juga sebagai penutur sejarah, berdiskusi bersama Kepala BPK Wilayah VI, Kristanto Januardi, dan Ketua Yayasan Lacak Budaya Sriwijaya, Hasan, M.Sn.

Jejak Wayang di Palembang: Jejak Para Bangsawan Perantau

Dalam diskusi, Wirawan mengisahkan perjalanan panjang wayang kulit di Bumi Sriwijaya. Kesenian ini, ujarnya, datang bersama rombongan bangsawan Demak yang bermigrasi ke Palembang berabad-abad silam. Dua tokoh penting dari rombongan itu—Pangeran Sidoing Lautan dan Kigedeng Suro—dianggap sebagai pembawa seni pedalangan ke wilayah ini.

Pada mulanya, wayang adalah tontonan sekaligus tuntunan yang hidup di lingkungan keraton. Namun situasi berubah ketika tekanan kolonial Belanda memaksa keluarga kesultanan menyebar ke pelosok Sumatera Selatan. Para dalang, pengrawit, dan penjaga budaya turut membawa serta wayang keluar dari dinding istana, menjadikannya warisan hidup yang dipelihara secara pribadi dari generasi ke generasi.

Sanggar Sri Wayang Kulit Palembang: Menjaga Api Sejak 1959

Kisah pelestarian ini kemudian terhubung ke keluarga Wirawan. Pada 1959, keluarganya membeli koleksi wayang milik dalang terkenal Abdul Rahim, lalu merawatnya hingga terbentuklah Sanggar Sri Wayang Kulit Palembang.

Sejarah sanggar ini tidak selalu mulus. Beberapa alat gamelan hilang ditelan waktu, namun sebagian lainnya—peking, kendang, hingga kenong—tetap selamat. Salah satu kenong bahkan diperkirakan berusia dua abad, diwariskan turun-temurun dan masih nyaring mengiringi setiap lakon hingga kini.

“Benda-benda ini bukan sekadar alat musik, tapi saksi perjalanan panjang keluarga kami,” ujar Wirawan.

Wayang Palembang di Pekan Seni 2025 di Lawang Borotan
Wayang Palembang di Pekan Seni 2025 di Lawang Borotan (Dok)

Sanggar di 36 Ilir: Ruang Belajar, Ruang Riset, Ruang Pulang

Kini Wirawan membuka sanggar di Kelurahan 36 Ilir, Jalan Buntung. Ia menyambut siapa saja—dari pelajar, mahasiswa, peneliti budaya, hingga masyarakat umum—yang ingin belajar atau sekadar melihat dari dekat proses pementasan wayang Palembang.

“Bisa datang Sabtu atau Minggu. Hubungi saya dulu lewat telepon atau WA, karena hari biasa saya bekerja,” tuturnya, menepis stigma bahwa pelestari tradisi hidup dari panggung semata.

Identitas yang Harus Dijaga

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Admin

Tags

Rekomendasi

Terkini

X