Terpaksalah, kaos itu lepas dan dilempar ke massa.
Bukan sekali dua, cetak ulang kaos dilakukan.
Apalagi menjelang hari H pemilihan. Kaos milik Nang Ayu memang penuh variasi.
Selain gambarnya aneka macam, kata-katanya juga menarik. Seakan bukan untuk kampanye. Sehingga, dipakai dimana-mana pun bisa.
Bukan saja jemuran di rumah-rumah rakit dekat kediaman Nang Ayu yang setiap harinya pasti ada kaos bergambar dirinya yang sedang dikeringkan pemiliknya. Tapi juga jemuran di rumah-rumah di pelosok desa dan perkotaan.
Cuma satu yang dilupakan. Karena banyaknya fose dan jenis foto di kaos yang dibagikan, saat memilih, pemilik kaos tak mengenali lagi Nang Ayu. Apalagi, ternyata fotonya di kaos dan kertas suara sangat berbeda jauh.
Perolehan suara Nang Ayu lumayan. Sayang, calon lain ternyata juga lebih lumayan. Memang, kaos-kaos telah dibagikan.
“Tapi yang harus diingat, warga juga mendapat kaos-kaos dari calon lain. Jadi tak bisa disalahkan kalau mereka juga akhirnya bingung menentukan pilihan,” bela ketua tim sukses, Agus ketika disemprot saat diketahui perolehan suara Nang Ayu masih jauh dibanding calon lainnya.
Di rumah Nang Ayu kini tak satupun kaos bergambar dirinya. Yang ada justru surat tagihan atas cetak ulang kaos. Kalau saja bukan pasca pemilihan umum, surat tagihan itu bukan persoalan.
Tapi ini, lain. Persediaan anggaran telah menipis. Penawaran bantuan telah menyepi ketika perolehan suara dipastikan tak mendudukkan Nang Ayu sebagai senator. Hanya sesekali telepon berdering, entah itu di hand phone atau di telepon rumah. Ternyata ucapan dari koleganya pertanda ikut prihatin.
Dalam waktu singkat, jenggot dan kumis Nang Ayu yang dulu rajin digusur setiap dua minggu, kini telah merimbun. Rambutnya juga. Pakaiannya meski kusut, tetap perlente. Hanya agak kumal saja.
Bukan cuma istri atau anak-anaknya yang tak bisa diajak komunikasi lagi pascapemilihan umum karena sibuk dengan terawangan pikiran masing-masing. Sehingga, memang di rumah besar milik Nang Ayu, semuanya pada sibuk dengan pikiran masing-masing.
Usaha pempek tak jalan lagi. Gilingan ikan, yang biasa digunakan untuk menggiling ikan gabus yang dibeli di pasar Cinde sedikitnya 50 kg setiap hari kini tak terurus lagi. Kotoran tikus di mana-mana. Di lobang penggilingan bahkan di gagang penggilingan. Aroma kencing tikus dan kecoak sudah mendominasi meja tempat dipasangnya penggilingan ikan itu.
Nang Ayu sendiri, masih sibuk memantau perkembangan penghitungan suara. Sampai akhirnya, dirinya dipastikan tak termasuk dalam empat besar yang mendapat suara terbanyak.
Dari atas mobilnya, pandangannya tertumpu pada kaos bergambar dirnya yang terjemur di rumah susun. Rasa kangennya muncul. Ingin mengenakan kaos itu. Seolah ingin, mimpi-mimpi saat kampanye dimana dirinya menjadi senator yang ikut sidang MPR, bisa dirasakan kembali.
Sang sopir pun diperintahkan parkir di sebuah pertokoan. Berjalanlah Nang Ayu yang kini berjenggot panjang dan berkumis tebal dengan yakin. Dia memutar langkah ketika tiba di depan pintu masuk pasar swalayan.