KetikPos.com -- Pe
Sementara mentari beranjak dari puncaknya, jari-jari cekatan ibu-ibu dari berbagai usia ini dengan penuh kesabaran mengolah lembar demi lembar purun menjadi karya seni yang memukau.
Proses ini, sambil diselingi dengan incang-incangan lagu-lagu yang menggugah hati, menandakan kehadiran sebuah tradisi yang telah memeluk mereka erat dan mewarnai kehidupan sehari-hari mereka.
Purun, tumbuhan liar yang tumbuh subur di lahan gambut, menjadi bahan utama dalam pembuatan tikar. Desa Menang Raya, yang terkenal sebagai kota tikar, memegang peranan sentral dalam pelestarian tradisi ini.
Baca Juga: Incang-incang Pedamaran, Tanpa Musik dan Saat Menganyam Purun
Hampir 90% ibu di desa ini menggantungkan mata pencaharian mereka pada kerajinan ini, menjadikannya tulang punggung ekonomi lokal yang kokoh.
Tradisi menganyam tikar purun telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan perempuan di Desa Menang Raya.
Dari generasi ke generasi, pekerjaan ini telah diwariskan dan dijaga dengan penuh kebanggaan. Bahkan anak-anak pun belajar menganyam sejak usia dini, memupuk nilai-nilai tradisional yang mereka terima dari leluhur mereka.
Tahapan pembuatan tikar purun bukanlah proses yang sederhana. Purun harus melalui serangkaian tahapan mulai dari pengumpulan, pemotongan, hingga proses dan pewarnaan sebelum bisa dianyam menjadi tikar.
Baca Juga: Incang-Incang Pedamaran: Mengupas Keberagaman dan Kekuatan Tradisi Warisan Budaya Takbenda
Proses ini memakan waktu yang cukup lama, terutama saat musim hujan ketika purun sulit dikeringkan.
Sebagian besar pembuat tikar membeli purun dari para pencari purun di rawa gambut, dengan harga sekitar Rp 7000 per ikat.
Dari satu ikat purun, mereka bisa membuat tiga lembar tikar ukuran 1 meter x 1,5 meter. Tikar yang sudah jadi dijual ke tengkulak dengan harga yang sama dengan harga pembelian purun.
Bagi para ibu di Desa Menang Raya, membuat tikar adalah sumber penghasilan yang sangat penting.