KetikPos.com -- Berdasarkan wawancara dengan beberapa narasumber di Pedamaran, khususnya di Desa Menang Raya, incang-incang berawal dari senandung para wanita saat menganyam tikar purun. Karenanya tanpa musik.
"Para penganyam itu umumnya, wanita. Dan mereka mengungkapkan beraga sisi kehidupan bathin maupun fisiknya, selama menganyam tikar purun," jelas Lazuardi Martin, Penasehat Pemangku Adat Marga Danau.
Banyak ragamnya yang kemudian hidup dan berkembang.
Baca Juga: Betembang, Disenandungkan saat Nakok
Sementara menurut Kades Menang Raya, Rian Syaputra, Pedamaan terdiri dari 14 desa. Incang-incang ini ada di berbagai desa itu . Kecuali tiga desa yang merupakan desa transmigrasi.
"Para penganyam tikar purun menyampaikan incang-incang di sela-sela pekerjaannya. Hanya saja, kin tersisa 10 persen warga desanya yang menggeluti dunia anyam-menganyam ini," jelasnya.
Karena itulah tentu berdampak pada para penutur incang-incang. Karenanya, setiap tujuh belasan saat Agustus digelar lomba incang-incang. "Sehingga penutur incang-incang ini pun tetap terjaga," tambahnya.
Dua penutur incang-incang, Komala Sari dan Rusminah Affatah alias Buat Jawo.
Keduanya menuturkan, melakoni incang-incang sejak masih gadis hingga kini berumur di atas 60 tahun.
"Umumnya yang dijadikan incang-incang itu pengalaman yang dirasa dan dilakoni. Baik itu yang sedih maupun yang menyenangkan," jelas Komala Sari.
Baca Juga: Kekayaan Sastra dan Budaya Sumatera Selatan: Incang-Incang dan Betembang sebagai Cerminan Kehidupan
Begitu pun menurut Hj Rusminah. "Ada pesan-pesan yang ingin disampaikan kepada orang lain agar menjadi pelajarannya.
Karenanya, kemudian incangincang ini kemudian juga dituturkan tanpa menganyam tikar. Tetapi saat ada persedakahan. Sebagai hiburan dan menyampaikan pelajaran kehidupan kepada banyak orang. "
Penyampaian incang-incang ini biasanya saat masak-memasak yang bisa dua hari sampai empat hari saat ada kenduri.