KetikPos.com - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung pada 15-16 Februari 2023 memutuskan untuk menahan suku bunga acuan atau BI-7 Day (Reverse) Repo Rate (BI-7 DRR) tetap di 5,75 persen agar ekonomi tumbuh dengan baik.
Kebijakan yang dilakukan bank BI itu sebagai langkah untuk jaga-jaga dan selalu melihat ke depan, sehingga semuanya menjadi terukur.
Jadi tidak dipungkiri, Bank Indonesia terus menjaga kondisi makro ekonomi, termasuk tetap terkendalinya laju inflasi di tengah-tengah kondisi perekonomian global yang tidak menentu, melalui kebijakan suku bunganya.
Bank sentral sudah melakukan penyesuaian bunga acuan BI-7 DRR dalam setengah tahun terakhir sejak Agustus 2022. Bunga acuan BI-7 DRR sudah naik 225 basis poin. Terakhir otoritas moneter itu menaikkan suku bunga acuan pada 19 Januari 2023.
Menurut Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, suku bunga acuan BI yang saat ini berada di level 5,75 persen sudah cukup memadai sebagai salah satu instrumen mengendalikan inflasi. Bank sentral memandang, kenaikan lanjutan bunga acuan belum diperlukan.
“Kami menilai langkah agresif bank sentral yang mengerek suku bunga acuan sejak Agustus 2022 dinilai sudah cukup. Kebijakan itu sudah memadai, dalam arti, tidak diperlukan suatu kenaikan lagi, itulah stance (pijakan) dari kebijakan moneter,” katanya dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).
Dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia yang berlangsung Kamis (16/2/2023), BI memilih untuk menjaga tingkat bunga acuan di level 5,75 persen.
BI menilai, tingkat suku bunga tersebut memadai untuk memastikan inflasi inti tetap berada dalam kisaran 2 persen—4 persen pada semester I-2023 dan inflasi Indeks Harga Konsumen (IHK) kembali kepada sasaran 2 persen—4 persen pada semester II-2023.
Beberapa indikator yang mendukung pernyataan itu terlihat dari laju inflasi di dalam negeri menurun lebih cepat dari yang diperkirakan sebelumnya. Inflasi IHK pada Januari 2023 tercatat rendah sebesar 0,34 persen secara bulanan.
Secara tahunan, inflasi pada periode tersebut tercatat sebesar 5,28 persen, lebih rendah dibandingkan dengan periode bulan sebelumnya yang tercatat sebesar 5,51 persen. Menurut Perry, penurunan inflasi ini didorong oleh penurunan inflasi inti dan inflasi komponen harga yang diatur pemerintah, serta inflasi pangan bergejolak (volatile food) yang terjaga.
“Perkembangan ini sebagai dampak positif kebijakan moneter BI yang front loaded, preemptive, dan forward looking dalam mengendalikan inflasi dengan didukung pengendalian inflasi volatile food melalui Gerakan Nasional Pengendalian Inflasi Pangan [GNPIP],” katanya.
Sejumlah optimisme yang menyeruak, tetap harus menyisakan kewaspadaan. Pasalnya, hasil dari survei Bank Indonesia juga memberikan peringatan potensi tekanan inflasi pada Maret 2023 yang meningkat seiring dengan momentum Ramadan 1444 Hijriah.
Menurut Kepala Departemen Komunikasi BI Erwin Haryono, Indeks Ekspektasi Harga Umum (IEH) pada Maret mendatang mencapai 139,1 atau meningkat dibandingkan dengan Februari yang sebesar 134,6. “Pemicunya didorong oleh kenaikan harga selama Ramadan 1444 H. Sementara itu, IEH Juni 2023 tercatat 138,3, menurun dibandingkan dengan Mei 2023 sebesar 140,2,” ujarnya dikutip dari laman resmi BI, Kamis (9/2/2023).
Tak dipungkiri, inflasi secara musiman memang selalu naik menjelang puasa dan Idulfitri. Oleh karena itu, wajar bila masyarakat muncul persepsi inflasi akan meningkat.