KetikPos.com — Di bawah langit malam Palembang yang berpendar cahaya, bunyi tidak sekadar didengar. Ia ditangkap, diterjemahkan, lalu dituangkan menjadi warna dan bentuk. Inilah yang terjadi di Parade Bunyian 2025, ketika suara dan lukisan berdialog, dan kanvas menjadi panggung yang tak bersuara tapi penuh gema.
Di antara dentum alat musik tradisional, perkusi eksperimental, hingga senandung yang bergema dari panggung, seniman-seniman rupa dari Komite Seni Rupa DKP terlihat khusyuk dengan kuas dan palet warna.
Mereka tidak sekadar “menggambar”—mereka merespons. Mereka mendengarkan dengan mata, lalu melukis dengan hati.
“Para pelukis ini menangkap frekuensi rasa, bukan hanya suara. Mereka melukis bukan objek, tapi emosi yang lahir dari irama,” jelas Marta, sekretaris Komite Seni Rupa DKP mewakili ketua Joko Susilo.
Kanvas Sebagai Panggung Sunyi
Bagi sebagian orang, musik adalah untuk telinga. Tapi malam itu, di sudut-sudut Lawang Borotan, sejak siang hari musik menjelma menjadi gelombang warna. Ada yang menyapukan merah menyala saat dentuman kendang memuncak. Ada pula yang menarik garis hitam melingkar saat suara suling melengkung di udara.
Seorang pelukis menuturkan dengan tenang, “Saya tak bisa menghubungkan antara musik dan lukisan. Tapi saya bisa merasakan warna dari bunyi itu. Dan, itu saya pindahkan ke kanpas," ujar Rudi, salah seorang pelukis.
Selain Rydi, memang ada Yan Komik, Don Tiger, dan Gede.
Muhammad Nasir, Ketua Dewan Kesenian Palembang, menggarisbawahi bahwa Parade Bunyian bukan hanya tentang pertunjukan, tapi ruang dialog antar seni.
“Di sinilah seni musik dan seni rupa saling menyapa, saling menafsir. Inilah wajah Palembang yang tak hanya melestarikan, tapi juga mengembangkan seni lintas medium secara inklusif dan berani,” ujarnya.
Suara Kolaborasi: Kawan Lamo dan Semangat Lintas Seni
Sebagai penggagas utama bersama DKP, Komunitas Kawan Lamo menunjukkan konsistensinya dalam merawat ekosistem seni yang terbuka. Bukan hanya musisi, tetapi juga pelukis, penari, bahkan perupa jalanan ikut diberi ruang.
“Parade Bunyian ini bukan hanya soal pentas. Ini adalah ruang lintas batas. Kami ingin setiap seniman—dari suara, rupa, gerak, sampai kata—bisa saling sapa dalam satu nafas yang sama,” ujar M. Fitriansyah, Ketua Komunitas Kawan Lamo.
Ia menambahkan bahwa mengajak pelukis untuk merespons pertunjukan bunyi secara langsung adalah bentuk keberanian untuk meruntuhkan sekat antar cabang seni.