Oleh karena itu, menurut Bahrul tindakan eksekusi putusan pengadilan tersebut bukan merupakan eksekusi, tapi perampas tanah oleh pengadilan bertopeng eksekusi.
Suatu tindakan yang melanggar Pasal 28H ayat (4) UUD 1945 yang melarang siapapun melakukan perampasn terhadap harta kekayaan warga negera.
Dugaan Korupsi Uang Hasil Lelang Rp2 Miliar
Selain permasalahan eksekusi yang dinodai rekayasa jahat, Dr. Bahrul juga mengungkap adanya kejanggalan terkait uang hasil lelang tanah milik kliennya.
Menurutnya, setelah tanah tersebut dilelang, terdapat sisa uang sebesar Rp2.000.400.000 yang hingga kini tidak diketahui keberadaannya.
"Seharusnya, setelah proses lelang selesai, uang yang menjadi hak klien kami diserahkan pengadlan. Tapi hingga saat ini, uang tersebut menghilang tanpa kejelasan. Kemana perginya uang ini?" tanyanya.
Meskipun sudah ditanya melalui surat pada 27 November 2023 lalu, pihak Pengadilan Negeri Pontianak tetap bungkam, sama sekali memberi penjelasan apapun tentang uang hasil eksekusi lelang tersebut. "Ini menjadi pertanyaan besar. Ada dugaan kuat uang ini telah disalahgunakan oleh oknum tertentu. Ini bukan sekadar kelalaian, tetapi bisa masuk dalam ranah pidana korupsi," tegasnya.
Peradilan Harus Transparan
Kasus eksekusi yang menimpa tanah Frendys Eka Luki Putra tersebut menambah daftar panjang dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pengadilan dalam melakukan eksekusi.
Jika benar ada mafia peradilan yang bermain, maka ini menjadi ancaman bagi kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Publik kini menunggu langkah yang akan diambil oleh Kejaksaan Tinggi Kalimantan barat, Bawas Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial dalam menanggapi pengaduan yang telah disampaikan Kuasa Hukum Frendys Eka Luki Putra.
Apakah keadilan akan ditegakkan, atau kasus ini justru menguap tanpa kejelasan?