Oleh
Hapzon Effendi*
Suatu ketika saya salat taraweh berjamaah di masjid yang tidak begitu jauh dari tempat tinggal saya di Kota Palembang.
Saat itu baru saplat taraweh malam pertama, saat lagi riang gembiranya menyambut datang bulan suci Ramadan.
Mulai dari anak-anak, orang dewasa, hingga orang-orang lanjut usia penuh berdesak-desakan ingin meramaikan sallat taraweh di malam yang pertama.
Saking ramainya jama’ah, hingga ada sebahagian jama’h harus sallat di pelataran masjid, karena tidak tertampung di dalam masjid.
Tetapi suasana seperti ini bukan hanya terjadi di kota Palembang, jika diperhatikan terjadi hampir di seluruh pelosok tanah air, seperti di Bengkulu, Pekanbaru, Medan, Serang, Pontianak, Bogor bahkan di Ibu Kota Jakarta pun kondisinya pun sama saja.
Yaitu di sepuluh hari pertama Ramadan, masjid penuh sesak dengan jama’ah salat Isya’, taraweh dan dilanjutkan dengan salat witir sebagai penutup.
Biasanya Kondisi seperti ini bertahan lima hingga sepuluh hari pertama Ramadan, atau biasa disebut fase pertama Ramadan yang keistimewaannya adalah penuh “rahmat”.
Sebagaimana kita ketahui, bahwa Bulan Ramadan dibagi menjadi tiga fase yang memiliki keistimewaan masing-masing.
Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Farisi: “Adalah bulan Ramadan, awal adalah rahmat, pertengahannya maghfirah, dan akhirnya pembebasan api neraka”.
Lalu masuklah fase yang kedua atau sepuluh hari kedua di Bulan Ramadan atau fase pertengahan yang keistimewaannya adalah fase “ampunan” atau “mahgfirah”.
Di fase ini umat Islam yang melaksanakan Ibadah puasa dibukakan pintu ampunan seluas-luasnya asalkan mau bertuabat dari perbuatan dosa dan kesalahan kepada Allah SWT.