Oleh Muhamad Nasir, anggota Dewan Kehormatan Provinsi (DKP) PWI Sumsel
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), organisasi wartawan tertua di Indonesia, tengah menghadapi krisis besar akibat dualisme kepemimpinan. Konflik internal ini tidak hanya menimbulkan kebingungan bagi para wartawan, tetapi juga berdampak pada perayaan Hari Pers Nasional (HPN) 2025, yang kini terpecah menjadi dua acara berbeda di dua lokasi.
Saat ini, PWI memiliki dua kubu kepemimpinan:
Hendry CH Bangun, yang terpilih dalam kongres PWI sebelumnya.
Zulmansyah Sekedang, yang ditunjuk melalui Kongres Luar Biasa (KLB).
Kedua kubu ini saling mengklaim sebagai pengurus sah. Akibatnya, masing-masing menyelenggarakan HPN 2025 versi mereka sendiri:
HPN versi Hendry CH Bangun diadakan di Kalimantan Selatan.
HPN versi Zulmansyah Sekedang berlangsung di Pekanbaru, Riau.
Konflik ini tidak hanya menimbulkan kegaduhan di internal PWI, tetapi juga menciptakan kebingungan bagi para wartawan yang diwajibkan bergabung dalam organisasi profesi.
Wartawan Bingung: Ikut yang Mana?
Bagi banyak wartawan, PWI adalah rumah bagi insan pers yang selama ini menjadi wadah untuk meningkatkan profesionalisme, advokasi, dan perlindungan hukum. Namun, dengan dual kepemimpinan ini, para anggota kini dihadapkan pada dilema besar: bergabung dengan kubu yang mana?
Salah satu indikasi konflik yang semakin memanas adalah keputusan pengurus di bawah Hendry CH Bangun yang tidak lagi diizinkan menempati sekretariat PWI di Gedung Pers, Jakarta Pusat. Ini menjadi sinyal kuat bahwa perpecahan semakin dalam dan membutuhkan solusi segera.
Akar Masalah Dualisme PWI
Dualisme dalam organisasi wartawan bukan hal baru di Indonesia. Namun, perpecahan kali ini tergolong serius karena melibatkan dua kepemimpinan yang sama-sama memiliki legitimasi berdasarkan proses yang berbeda.