“Kini, ruang kelas tidak hanya diawasi oleh tatapan murid, tetapi juga oleh kamera ponsel dan opini dunia maya.”
Kondisi tersebut membuat banyak guru dan dosen merasa serba salah. Bila mereka diam, moral peserta didik bisa terabaikan. Namun jika mereka tegas, ancaman laporan dan tekanan sosial menanti.
Ketegangan inilah yang perlahan mengikis wibawa pendidikan. Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin generasi mendatang tumbuh tanpa menghormati sosok pendidik karena mereka melihat guru tak lagi memiliki otoritas moral di depan publik.
Pendidik di Persimpangan Hukum
Belakangan ini publik kerap dihebohkan oleh kasus guru yang berhadapan dengan hukum akibat laporan dari wali murid. Tuduhan kekerasan, pencemaran nama baik atau pelanggaran etik sering diarahkan tanpa menimbang konteks profesional pendidik (pedagogis). Dalam banyak peristiwa, tindakan tegas pendidik disalahartikan sebagai pelanggaran hukum.
Fenomena ini menjadi cerminan bahwa profesi guru dan dosen kini berada dalam posisi yang rawan, meski peran mereka begitu vital dalam membangun kualitas manusia Indonesia.
Baca Juga: DPR Setujui Tambahan Anggaran Kemenag 2025: Fokus pada BOS Madrasah, Gaji ASN, dan Tunjangan Guru
Akibatnya, tak jarang saat ini banyak guru akhirnya memilih bersikap pasif, menghindari teguran atau disiplin agar tidak menimbulkan masalah hukum. Padahal, tanpa ketegasan dan otoritas moral, proses pendidikan kehilangan ruhnya.
“Tanpa perlindungan hukum yang tegas, guru dan dosen berpotensi dikriminalisasi saat menjalankan tugas mendidik.”
Guru dan dosen tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan menanamkan nilai moral. Dalam proses itu, mereka kerap dihadapkan pada situasi sulit menegakkan disiplin, memberi sanksi edukatif, atau mengungkap pandangan kritis.
Di tengah perubahan sosial dan derasnya arus opini publik digital, tindakan profesional seperti itu sering disalahpahami dan bahkan dilaporkan ke penegak hukum.
Regulasi Belum Menyentuh Akar Masalah
Secara normatif, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Namun, substansi peraturan tersebut lebih banyak menyoroti persoalan profesionalisme, sertifikasi, dan kesejahteraan. Aspek perlindungan hukum, sosial, serta psikologis bagi pendidik masih belum diatur secara menyeluruh.
Akibatnya, setiap konflik antara guru dan siswa atau antara dosen dan mahasiswa kerap langsung dibawa ke ranah hukum pidana tanpa proses etik atau mediasi terlebih dahulu. Padahal, tindakan pendisiplinan adalah bagian tak terpisahkan dari proses pendidikan. Ketika disiplin dianggap pelanggaran, otoritas moral guru perlahan terkikis.
Baca Juga: Guru SMA/SMK se-Sumsel Ikuti Pelatihan Interactive Video In Web Based Learning
Artikel Terkait
UMP Tambah ‘Amunisi Akademik’: Dua Guru Besar Baru Siap Gebrak Dunia Ilmu
Bill Gates Ramal AI Akan Geser Dokter dan Guru dalam 10 Tahun: Era Kecerdasan Gratis Dimulai?
Guru SMA/SMK se-Sumsel Ikuti Pelatihan Interactive Video In Web Based Learning
DPR Setujui Tambahan Anggaran Kemenag 2025: Fokus pada BOS Madrasah, Gaji ASN, dan Tunjangan Guru
Satu Guru, Tiga Jalan: Saat Soekarno, Semaun, dan Kartosuwiryo Membentuk Arah Bangsa
PGRI Palembang Laporkan Wali Murid ke Polda, Tegaskan Langkah Hukum Demi Marwah Guru
PGRI Palembang Laporkan Wali Murid ke Polda, Tegaskan Langkah Hukum Demi Marwah Guru