Perlunya Mewaspadai Adanya Praktik Adu Domba dalam Persoalan Balai Pertemuan

photo author
DNU
- Minggu, 26 Februari 2023 | 21:18 WIB
Veberi Alintani, Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (istimewa)
Veberi Alintani, Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (istimewa)

  Per

Oleh Vebri Al Lintani
Koordinator Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya AMPCB)

Aliansi Masyarakat Peduli Cagar Budaya (AMPCB) telah mengirimkan surat ke Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Sumsel agar segera meninjau keadaan Balai Pertemuan, mengiventarisir seluruh kerusakan, membuat kajian dan memberikan rekomendasi kepada Pemkot Palembang untuk melakukan penetapan (sertifikasi) Balai Pertemuan sebagai cagar budaya dan melakukan pemugaran.

Pemugaran cagar budaya tentu tidak sama dengan pemugaran bangunan biasa. Pemugaran harus mengacu pada kaidah norma yang diatur dalan UU Nomor 11/2010 dan Perda Kota Palembang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cagar Budaya.

Satu hal lagi yang harus diingat, pembersihan yang dilakukan oleh pihak Baznas dilakukan setelah aksi AMPCB.

Berarti, pihak Baznas bereaksi dan merespon setelah ada aksi “Bakti Sosial dan Pertunjukan Seni” di Balai Pertemuan oleh pihak AMPCB pada 12 Februari 2022.

AMPCB memang mendorong pemanfaatan Balai Pertemuan untuk sarana prasarana kesenian. Sepertinya, reaksi Baznas disebabkan oleh rasa ketakutan jika Balai Pertemuan dialihkan pengelolanya.

Saya tidak paham, apakah Baznas kegiatan bersih-bersih dan penjagaan balai pertemuan
dikarenakan atas inisiatif sendiri, atau diperintahkan oleh Pemkot Palembang.

Jika karena alasan diperintahkan Pemkot, maka patut diduga dan diwaspadai telah terjadi upaya peta konflik atau adu domba antar masyarakat sipil, yakni pihak AMPCB dan pihak Baznas.

Hal ini sangat berbahaya dan keji. Bukankah karakter semacam ini mengingatkan kita pada karakter kolonial Belanda yang hobi melakukan politik devide et impera.

Menurut penilaian (AMPCB), penyerahan Gedung Balai Pertemuan (ex-societeit/KBTR) ke Baznas Kota Palembang sebagai pengelola cagar budaya dengan status pinjam pakai oleh Walikota Harnojoyo adalah kebijakan yang subjektif -selera pribadi-, a-historis, politis, tidak
partisipatif, dan sangat tidak etis.

Gedung Balai Pertemuan adalah milik publik yang dikuasasi negara yang berstatus cagar budaya.

Tegasnya, Balai Pertemuan bukan milik pribadi atau warisan nenek moyang yang dapatdengan seenaknya diserahkan pada orang yang disenangi apalagi berdasarkan balas jasa atau untuk kepentingan pencitraan politik yang nepotif.

Dalam kebijakan ini, kentara sekali, bahwa Walikota Harnojoyo tidak melibatkan partisipasi masyarakat luas untuk berpendapat.

Partisipasi masyarakat merupakan persyaratan pemerintahan yang baik (good governance). Oleh karenanya, kebijakan untuk pemanfaatan seharusnya melibatkan banyak pendapat para pemangku kepentingan seperti Tim Ahli Cagar Budaya, arkeolog, antropolog,

budayawan, sejarawan, seniman dan unsur lain yang berkompeten. Pola kebijakan yang sujektif dan tidak partisipatf seperti ini akan menimbulkan konflik dan resistensi dari masyarakat. Aksi-aksi penolakan dari

AMPCB dan berbagai pihak saat ini, merupakan akibat dari kebijakan yang tidak tepat Atau dalam bahasa Palembang disebut nganar.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: DNU

Tags

Rekomendasi

Terkini

Media: Arsitek Realitas di Era Digital

Rabu, 26 November 2025 | 08:12 WIB

Menjaga Wibawa Pendidikan dari Kriminalisasi Pendidik

Jumat, 24 Oktober 2025 | 14:09 WIB

Pelangi Beringin Lubai II: SIMBOLIS HUBUNGAN KEKERABATAN

Selasa, 23 September 2025 | 07:02 WIB

Pelangi Beringin Lubai dalam Kenangan I: Budaya Ngule

Senin, 22 September 2025 | 19:12 WIB

Rusuh: Rakyat Selalu Dipersalahkan, Kenapa?

Jumat, 5 September 2025 | 17:48 WIB

BEDAH ALA KRITIKUS SASTRA

Jumat, 29 Agustus 2025 | 22:28 WIB

BENDERA PUTIH TLAH DIKIBARKAN

Senin, 25 Agustus 2025 | 16:11 WIB
X