Oleh:
Riska anggraini
Email: [email protected]
Perbankan syariah Fakultas ekonomi dan bisnis islam
Universitas Islam negeri Raden intan Lampung
Dasar hukum zakat perusahaan
Zakat merupakan ibadah maliyah dan ijtima’iyah, yakni ibadah sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia.
Semakin pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perkembangan kegiatan ekonomi dengan segala macam jenisnya, maka perkembangan pola kegiatan ekonomi saat ini sangat berbeda dengan corak kehidupan ekonomi di zaman Rasulullah.
Tetapi substansinya tetap sama, yakni adanya usaha manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.Sesuai dengan perkembangan kegiatan ekonomi dan mata pencaharian masyarakat yang terus berkembang, maka jenis-jenis harta yang dizakati juga mengalami perkembangan,Perkembangan itu terlihat pada jenis-jenis harta yang dizakati.
Zakat Perusahaan
Para ulama menganalogikan zakat perusahaan kepada zakat perdagangan, karena dipandang dari aspek legar dan ekonomi, kegiatan sebuah perusahaan intinya adalah kegiatan trading atau perdagangan.
• Dasar hukum kewajiban zakat perusahaan ialah dalil yang bersifat umum sebagaimana terdapat dalam (Q.S. 2:267 dan Q.S. 9:103).
“Wahai orang-orang yang beriman, infaqkanlah (zakatkanlah) sebagian dari hasil usaha-usahamu yang baik-baik,Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka.
Kewajiban zakat perusahaan juga didukung sebuah hadist riwayat Bukhari dari Anas bin Malik, bahwasanya Abu Bakar menulis surat kepadanya yang berisikan pesan tentang zakat binatang ternak yang didalamnya ada unsur syirkah. Sebagian isi surat itu antara lain:
• Jangan dipisahkan sesuatu yang telah tergabung (berserikat), karena takut mengeluarkan zakat. Dan apa-apa yang telah digabungkan dari dua orang yang telah berserikat (berkongsi), maka keduanya harus dikembalikan (diperjuangkan) secara sama”
Teks hadist tersebut sebenarnya, berkaitan dengan perkongsian zakat binatang ternak, akan tetapi ulama menerapkannya sebagai dasar qiyas (analog) untuk perkongsian yang lain, seperti perkongsian dalam perusahaan. Dengan dasar ini, maka keberadaan perusahaan sebagai wadah usaha di pandang sebagai syakhsiah hukmiayah (badan hukum).
Para individu di perusahaannya. Segala kewajiban ditanggung bersama dan hasil akhirpun dinikmati bersama, termasuk di dalamnya kewajiban kepada Allah, yakni zakat harta
Namun harus diakui bahwa, kewajiban zakat bagi perusahaan yang dipandang sebagai syakhsiah hukmiah, masih mengandung sedikit khilafiayah di kalangan ulama kontemporer. Perbedaan pendapat ini disebabkan karena memang lembaga badan hukum seperti perusahaan itu memang belum ada secara formal dalam wacara fiqih klasik.