Oleh Monanta Galesha
Gitaris Rock Palembang dari band
- SPEEDWAY
- VIOLENCE
Pernah di dua band tsb ,era 80/90 an
Setelah menyimak jalannya zoom meeting kemarin dan membaca notulen yang cukup panjang, saya merasa perlu menuangkan pikiran ini. Mari kita seruput kopi dulu—tak peduli pahit atau manis, yang jelas lebih jujur daripada mekanisme pungutan LMKN—sebelum kita bahas keresahan kita bersama.
Di Palembang, musik pernah jadi denyut hidup kota. Malam-malam yang lengang disemarakkan gitar akustik di cafe kecil, pesta pernikahan meriah dengan band dangdut, hingga suara penyanyi jalanan yang menukar bait lagu dengan sekeping receh. Musik adalah ruang berbagi: antara musisi, pelaku usaha, dan masyarakat.
Namun sejak kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) hadir, musik di Palembang mendadak berubah nada. Yang biasanya bernuansa do re mi, kini terdengar seperti do re mi… bayar dulu. Alih-alih memberi rasa aman, kebijakan ini menebarkan keresahan.
Baca Juga: Seniman Sumsel Gelar FGD, Kebijakan Royalti LMKN Dinilai Bikin Resah Musisi Daerah
*Keresahan Nyata dari Lapangan*
Seorang musisi cafe mengeluh, “Kami bukan hanya main setengah jam, tapi gaji kami yang dipotong separuh.” Sementara penyanyi lain lebih pahit nasibnya: begitu surat LMKN sampai di meja manajer, kontraknya langsung diputus.
Cafe dan resto pun mulai ketakutan. Bukan karena sepi pengunjung, tapi karena takut dianggap melanggar aturan ketika memanggil band akustik untuk menghibur tamu. Hasilnya jelas: musisi kehilangan panggung, hiburan jadi barang mewah, dan suasana kota semakin bisu.
Keresahan itu setidaknya punya tiga wajah:
*1. Takut kehilangan panggung*
- Cafe dan resto lebih memilih diam daripada dihantui tagihan.