KetikPos.com– Kesimpangsiuran denda royalti dari kebijakan Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menggelitik para seniman dan musisi Sumatera Selatan (Sumsel) untuk menggelar diskusi terbuka.
Forum Group Discussion (FGD) bertajuk “Dampak Kebijakan LMKN terhadap Pemusik” itu berlangsung di Gunz Café Palembang, Senin (18/8/2025) siang.
Hadir berbagai perwakilan komunitas musik dan seni, antara lain Dewan Kesenian Sumatera Selatan (DKSS), Dewan Kesenian Palembang (DKP), Yayasan Kawan Lamo Galo, Gong Sriwijaya, Komunitas Pengamen Jalanan (KPJ) Palembang, Jamers Palembang, Paguyuban Slankers Palembang, Rumah Aspirasi Budaya, Studio 12, Kerukunan Keluarga Pedangdut Palembang (KKPP), serta sejumlah musisi independen.
DKSS periode 2023–2028, Iqbal Rudianto alias Didit, yang menjadi moderator, mengatakan forum ini menjadi wadah bagi musisi daerah untuk menyuarakan keresahan mereka.
Menurutnya, kebijakan LMKN yang digadang-gadang melindungi pencipta lagu justru menimbulkan ketakutan di kalangan pelaku usaha hiburan serta menekan kesempatan kerja para pemusik lokal.
“Ada musisi yang dipotong honornya karena dianggap wajib membayar royalti saat membawakan lagu orang lain. Alhasil, banyak pengusaha kafe dan restoran takut menyelenggarakan pertunjukan musik. Ini jelas merugikan pemusik yang hidupnya bergantung dari panggung hiburan,” ujarnya.
Senada dengan itu, pencipta lagu daerah Palembang, Ki Agus Zainuddin alias Mang Zay, menuturkan dirinya tidak pernah sekalipun merasakan royalti dari ratusan lagu yang ia ciptakan, termasuk Palembang Kampung Halamanku dan Pempek Palembang.
“Saya tidak keberatan bila lagu saya dibawakan siapa saja. Tapi jika dipakai untuk kepentingan bisnis dan ada lembaga yang menarik royalti, pencipta lagu harus jelas mendapatkan haknya. Transparansi itu yang masih belum ada,” katanya.
Sementara itu, sejumlah pemantik diskusi menyampaikan pandangan kritis mereka. Ketua DKP, M Nasir, menilai prinsip perlindungan karya melalui LMKN sebenarnya baik, namun harus didahului dengan transparansi dan sosialisasi yang memadai.
“Karya harus didaftarkan dulu, mekanismenya jelas, dan pemerintah harus hadir sebagai pengawas sekaligus memberi perhatian dalam rangkaian proses HAKI hingga royalti dan pembinaan. Jangan sampai musisi, penyanyi, maupun pelaku usaha jadi korban aturan yang kabur,” katanya.
Ketua Komunitas Gong Sriwijaya, Cece atau nama lengkapnya Cheirman, juga menyoroti ketakutan para pelaku usaha.
“Banyak kafe dan resto enggan memakai live music karena takut terbebani royalti. Kalau begini, bukan hanya musisi yang dirugikan, tapi juga ekosistem hiburan di daerah,” ujarnya.
Hal senada disampaikan Ketua Komunitas Kawan Lamo, Mpit. Ia menilai kebijakan LMKN terlalu terburu-buru diberlakukan tanpa pemahaman yang jelas kepada masyarakat maupun seniman.
“Pertama-tama, apa itu LMKN? Musisi, seniman, bahkan masyarakat umum belum banyak tahu. Sosialisasinya minim sekali,” katanya.