- *Keadilan:* cafe kecil yang omzetnya tipis diperlakukan sama dengan hotel besar yang omzetnya ratusan juta.
Akibatnya, LMKN yang di atas kertas disebut “pelindung hak cipta”, di lapangan justru berubah jadi “hantu pengganggu nafkah”.
*Buah Simalakama di Dunia Musik*
LMKN melahirkan logika absurd:
- Main musik → kena pungutan.
- Tidak main musik → kehilangan panggung dan penghasilan.
Baca Juga: Seniman Sumsel Gelar 17-an di Monpera Peringati HUT ke-80 RI
Dengan kata lain, musisi didorong memilih antara dua jurang. Kalau terus main, dianggap melanggar; kalau berhenti main, kehilangan rezeki. Simalakama sempurna: salah di satu sisi, hancur di sisi lain.
Lebih getir lagi, bagi sebagian musisi Palembang, suara gitar di warung kopi diperlakukan sama dengan panggung megah di Jakarta. Aturan yang tidak mengenal konteks ini membuat musik lokal tercekik dalam absurditas birokrasi.
*Suara Alternatif dari Daerah*
Dari keresahan itu, mulai muncul gagasan baru: *LMKD (Lembaga Manajemen Kolektif Daerah).* Alasannya sederhana—jangan samakan Palembang dengan Jakarta. Musisi daerah butuh perlindungan, tapi dengan cara yang adil, transparan, dan sesuai konteks lokal.
Sebab masalah LMKN bukan pada ide melindungi hak cipta, melainkan cara pelaksanaan yang jauh dari realitas. Tanpa perbaikan, musisi akan terus merasa diperas, bukan dilindungi.
Baca Juga: Pedagang Kuliner Siap Antisipasi Lapar dan Haus Penonton Bidar
*Refleksi dan Sindiran*
Keresahan musisi Palembang bukan sekadar keluhan remeh. Ia adalah cermin dari bagaimana kebijakan negara sering dibuat tanpa mendengar denyut di bawah.