Kita hidup di negeri yang katanya menjunjung hak cipta, tapi realitasnya musisi lokal harus melindungi diri dari lembaga hak cipta itu sendiri. Kita punya undang-undang yang mulia, tapi dalam praktik justru melahirkan ketakutan.
_Kalau musik harus selalu didahului izin dan pungutan, jangan-jangan kelak pengamen jalanan pun akan diwajibkan mengeluarkan kuitansi sebelum menyanyikan “Bengawan Solo”._
*Dengarkan Suara dari Bawah*
Palembang hari ini memberi peringatan keras: kebijakan yang tidak berpijak pada kenyataan bisa mematikan kehidupan musik daerah. Musisi bukan menolak perlindungan hak cipta, mereka hanya menolak jadi korban aturan yang tidak jelas.
Musik seharusnya jadi ruang hidup yang membebaskan, bukan dipasung regulasi yang membingungkan. Kalau benar negara ingin melindungi, seharusnya suara dari bawah—dari Palembang, dari daerah—yang didengar lebih dulu. Karena tanpa itu, LMKN hanya akan jadi singkatan lain dari *“Lembaga Memeras Kesenian Nasional.”*
Kalau LMKN ingin dihormati, ia harus lebih dulu mendengar. Kalau tidak, jangan salahkan bila musisi memilih melawan—dengan suara, dengan petisi, bahkan dengan demo.
Sebab musik, sekali dibungkam, selalu punya cara untuk menggema kembali.
-MG-