Awalnya, tige serangkay dan antan delapan adalah judul-judul pantun dalam rejung.
Contohnya, syair tiga serangkai seperti "Amuntaukah ayik karawang / Ay, ngape nak nyabun aduhay sayang, sane seberang sane / Amuntaukah nasib kah malang / Ay, ngape nak tughun aduhay, sayang deniye dalam lah deniye / Amun mbak ini rupe mandian / Ay, ngape dik mandi aduhay, sayang kayik jalan kayik / Amun mbak ni rupe bagian / Ay, ngape di mati aduhay, sayang kecik badan lah kecik" menjadi syair tiga serangkai yang mendalam.
Dalam perkembangannya, nada, ritme, melodi, dan harmoni dari lagu-lagu tersebut berkembang menjadi lagu-lagu dengan judul-judul yang berbeda.
Salah satu wilayah di Sumatera Selatan yang kental dengan seni dan budaya Batanghari Sembilan adalah desa Muara Kuang di Kabupaten Ogan Ilir.
Di desa ini, seni Tembang Batanghari Sembilan menjadi sangat populer sejak tahun 1970-an dan terus berkembang hingga saat ini.
Baca Juga: Penggiat Dulmuluk, Randi Putra Ramadan, Main Juga Irama Batanghari Sembilan
Tembang ini sering diiringi oleh tarian daerah dan lagu-lagu yang mencerminkan kekayaan budaya daerah tersebut.
Syair Tembang Batanghari Sembilan yang pertama kali diciptakan di desa Muara Kuang menjadi suatu cerita tentang enam belas dusun di wilayah tersebut, lima berada di Kuang dan sebelas di Ogan.
Tembang ini umumnya dipentaskan dalam acara penyambutan tamu-tamu penting seperti Gubernur, Bupati, dan Camat, menciptakan suatu wujud seni yang menjadi identitas budaya masyarakat setempat.
Baca Juga: Duet Milenial Batanghari Sembilan, Randi dan Rosa, Ini dia orangnya
Dengan demikian, Batanghari Sembilan tidak hanya melibatkan aspek musik, tetapi juga membentuk sebuah kebudayaan yang kaya, merefleksikan kehidupan sehari-hari, kearifan lokal, dan hubungan yang erat dengan alam sekitar.
Keberlanjutan dan perkembangan seni dan budaya ini tidak hanya menjadi warisan berharga bagi Sumatera Selatan, tetapi juga menjadi ekspresi keunikan dan keindahan dalam kehidupan masyarakat setempat.