Kelenteng Caow Eng Bio: Jejak Sejarah dan Keagungan Arsitektur Tiongkok di Tanah Bali

photo author
- Minggu, 11 Februari 2024 | 11:53 WIB
Ilustrasi.Pengertian kelenteng atau tempat ibadah umat Konghucu (Instagram/@desa_kadur_li_bu_ong_ya)
Ilustrasi.Pengertian kelenteng atau tempat ibadah umat Konghucu (Instagram/@desa_kadur_li_bu_ong_ya)

 

KetikPos.com - Pulau Bali, selain menjadi destinasi wisata papan atas, juga menyimpan kekayaan budaya religi yang memikat.

Salah satu contohnya adalah Kelenteng Caow Eng Bio, rumah ibadah umat Konghucu yang berdiri megah di ujung utara Desa Tanjung Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung. Terletak di persimpangan Jl Segara Lor dan Jl Segara Ening, Kuta Selatan, kelenteng ini menarik perhatian dengan arsitektur khas Tiongkok, mulai dari atap melengkung hingga ukiran naga yang mempercantik sudut-sudutnya.

Perjalanan dari pusat kota Denpasar menuju kelenteng dapat ditempuh dalam waktu 40 menit melalui Nusa Dua, kawasan pariwisata terpadu.

Terletak di antara pemukiman penduduk dan beberapa pura Hindu, kelenteng ini menjadi pusat spiritual umat Konghucu di wilayah Kabupaten Badung dan sekitarnya.

Keberadaannya ditandai oleh sepasang shishi, patung singa batu yang menghiasi pintu masuk.

Arsitektur kelenteng mencerminkan keindahan khas Tiongkok, dengan atap melengkung, ukiran naga, dan dominasi warna merah, kuning keemasan, serta aksen hijau pada atap gapura dan pagoda.

Papan nama dengan aksara Tionghoa dan Latin menggantung di gerbang masuk, menyambut pengunjung dengan tulisan dān róng zhāo yìng dan Caow Eng Bio.

Kelenteng ini menjadi tempat ibadah utama bagi umat Konghucu di Kabupaten Badung, terutama pada hari-hari penting dan perayaan Tahun Baru Imlek.

Keistimewaannya terletak pada keberadaan Dewi Laut atau Shui Wei Shen Niang, yang menjadi fokus penghormatan umat Konghucu. Dewi ini hanya hadir di kelenteng ini dan empat negara lainnya di dunia: Singapura, Malaysia, Thailand, dan Tiongkok.

Pengunjung dapat menemukan tidak hanya patung Dewi Laut, tetapi juga 108 Xiongdi Gong (Pahlawan Suci) dan Ma Zu, dewi penolong para nelayan. Kelenteng ini juga memiliki altar untuk Dewa Naga, Cao Eng Kik Liek, dan Dewi Kwan Im.

Berdiri sejak 1548 oleh para pelaut Hainan, kelenteng ini menjadi tempat penting bagi komunitas tersebut.

Dewan Pertimbangan Caow Eng Bio, Nyoman Suarsana Ardika, mengakui bahwa kelenteng awalnya hanya berupa bangunan kecil yang digunakan para pelaut Hainan sebagai tempat persembahyangan sementara.

Namun, pada abad ke-19, kelenteng diperluas setelah mendapatkan hibah lahan dari Raja Badung Ida Cokorda Pemecutan ke-10.

Beberapa artefak bersejarah, seperti lonceng yang berusia lebih dari 200 tahun dan prasasti batu beraksara Tionghoa, menambah nilai sejarah kelenteng ini.

Halaman:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel
di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi.

Editor: Ujang Ketik Pos

Tags

Rekomendasi

Terkini

X