Oleh: Mohammad Arfani*)
Di balik gemerlap dunia hiburan modern, teater sering kali berada di jalur sunyi. Banyak kelompok teater di Indonesia masih harus berhadapan dengan kenyataan pahit: panggung yang seadanya, lampu yang terbatas, kostum hasil pinjaman, hingga latihan yang dilakukan di ruang serbaguna atau bahkan garasi rumah. Namun, justru di tengah keterbatasan itulah, pementasan teater terus membuktikan diri bahwa kemegahan karya tidak selalu bergantung pada kemewahan fasilitas.
Baca Juga: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan: Ketika Cinta, Laga, dan Sejarah Bertemu di Panggung Palembang
Dunia teater di Indonesia khusunya di Sumatera Selatan sering kali dihadapkan pada persoalan klasik: keterbatasan infrastruktur. Minimnya gedung pertunjukan yang layak, peralatan pencahayaan dan tata suara yang sederhana, serta dukungan dana yang terbatas sering menjadi penghambat perkembangan seni teater.
Namun, justru dalam kondisi serba terbatas inilah, para pelaku teater membuktikan bahwa kemegahan sebuah pertunjukan tidak selalu bergantung pada fasilitas yang mewah bertaraf internasional, melainkan pada kekuatan karya, kreativitas, dan kolaborasi.
Kemegahan karya teater tidak diukur dari besar kecilnya panggung, melainkan dari kedalaman naskah, kekuatan akting, dan kecerdasan artistik sutradara dalam mengolah ruang. Misalnya, pencahayaan seadanya dapat diubah menjadi simbol dramatik, properti sederhana bisa menghadirkan imajinasi besar, dan musik tradisional mampu menggantikan orkestra mahal. Semua itu adalah bukti bahwa seni teater hidup dari kreativitas manusia, bukan dari kemewahan fasilitas dalam menghidupkan kembali semangat perjuangan dan martabat Palembang dalam pertunjukan masuh sudah pada hari ketiga, 19 Oktober 2025 dengan sangat menggelora digelarnya pertunjukan teater bertajuk “Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan”, naskah karya Vebri Al Lintani dan disutradarai oleh Amir Hamzah. Pertunjukan ini berlangsung di Gedung Teater Tertutup, Taman Budaya Jakabaring, pada Minggu, 19 Oktober 2025, mulai pukul 10.00 WIB hingga selesai.
Hari ini semangat berteater terus menunjukkan kemegahannya. Bukan kemegahan fisik, tetapi kemegahan makna dan keberanian untuk terus berkarya meski tanpa fasilitas sempurna. Inilah bentuk sejati dari seni teater: seni yang lahir dari jiwa, tumbuh dari keterbatasan, dan bersinar karena kejujuran ekspresi dalam lakon ini.
Pertunjukan teater Sultan Mahmud Badaruddin II: Harimau yang Tak Dapat Dijinakkan sarat dengan muatan edukasi, sosial, budaya, romantisme, dan tentu saja aroma politik yang kuat. Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) dan Inggris menggunakan berbagai cara politik untuk menundukkan Kesultanan Palembang pada abad ke-17 hingga ke-19. Kesultanan Palembang merupakan kerajaan kuat di Sumatra Selatan yang kaya hasil bumi, terutama lada dan timah. Kekayaan ini menarik perhatian mereka yang berambisi menguasai jalur perdagangan di wilayah tersebut.
Salah satu cara politik mereka adalah melalui perjanjian dan manipulasi diplomatik dengan dalih kerja sama dagang, namun secara perlahan memaksakan perjanjian-perjanjian yang merugikan pihak Palembang. Sultan dipaksa menjual hasil bumi hanya kepada Eropa dengan harga yang ditentukan sepihak. Kebijakan monopoli ini melemahkan ekonomi kesultanan dan membuat VOC semakin dominan.
Selain itu, VOC menerapkan politik adu domba di antara bangsawan dan keluarga kerajaan. VOC memanfaatkan perpecahan internal untuk melemahkan kekuatan politik Sultan. Beberapa tokoh bangsawan yang tidak puas dengan kekuasaan pusat dijadikan sekutu VOC dengan imbalan dukungan atau jabatan tertentu. Strategi ini berhasil menciptakan konflik internal yang memperlemah kesatuan politik Palembang.
Ketika diplomasi dan politik adu domba tidak cukup, VOC juga menggunakan kekuatan militer untuk menundukkan kesultanan. Serangan terhadap Palembang terjadi beberapa kali, terutama saat Kesultanan menolak tunduk pada monopoli dagang atau menyerang pos-pos Belanda. Puncaknya, pada awal abad ke-19, kekuasaan Kesultanan Palembang runtuh setelah serangan besar Belanda yang berhasil menawan Sultan Mahmud Badaruddin II dan mengasingkannya.
Dengan demikian, kombinasi politik licik, monopoli ekonomi, perpecahan internal, dan tekanan militer menjadi strategi utama VOC dalam menundukkan Kesultanan Palembang. Cara-cara tersebut mencerminkan pola kolonial klasik: melemahkan dari dalam, menekan dari luar, hingga akhirnya menguasai sepenuhnya.
Baca Juga: Jubah Milik SMB II Jadi Koleksi Kuno Kesultanan Palembang Darussalam