Semakin besar proyek yang ditawarkan maka akan mematok mahar besar. Mahar menjadi topeng transaksi. Yang variasinya beragam dari uang tunai, sertifikat, atau apa saja yang dianggap sesuai dengan nominal yang telah disepakatinya.
Mahar menjadi sesuatu yang bukan tabu dan tanpa malu malu dipatok angka. Mahar bukan di pasar dan bukan dipatok dalam besaran angka. Mahar menjadi transaksi informal saling percaya dan apapun yang terjadi tetap maju tak gentar membela yang bayar.
Kasespim Lemdiklat Polri Irjen Pol Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana bersama Kartunis Non O yang terdiri dari Sudi Purwono, Gatot Eko Cahyono, Anwar Rosyid, Itok Isdiyanto Iskandan, pelukis Joko Kisworo bersama berbincang bincang menyikapi soal tahun politik yang memanas.
Perseteruan di media sosial semakin menggelinding bagai bola salju yang menabrak ke mana mana. Kartun dan dan karikatur kami bahas untuk penyejuk suasana yang nampaknya mulai nggege mongso.
Irjen Pol Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana mengatakan memahami makna "nggege mongso" dalam bahasa Indonesia memang tidak mudah. Namun setidaknya memenuhi unsur, memaksakan kehendak, ada kelicikan dalam kesempitan dijadikan kesempatan, menghalalkan segala cara,
tidak bercermin diri dan peduli orang lain susah karenanya, orientasinya melenceng dari keutamaan, ada sifat jumawa, hasrat yang cenderung serakah, pendekatan uang, kekuasaan, dan pendominasian pengeksploitasian sumberdaya,
moralitasnya rendah, lupa bahkan mengabaikan penghormatan akan nilai nilai yang diyakini dan berlaku umum serta tidak ada tata krama.
Orang yang nggege mongso akan memanfaatkan kesempitan dalam kesempatan mendominasi semua lini sumberdaya.
Akan membangun klik dengan pendekatan personal sebagai kroninya. Kekuasaan dan kewenangan dijadikan alat memaksakan kehendak.
Kepandaiannya, powernya bukan mencerdaskan malah memprovokasi yang membodohi dan mengobok obok opini. Kemampuannya menggunakan berbagai topeng untuk menutupi ketidaktulusannya, sarat kepura puraan, bagai pion yang dikendalikan demi memaksakan kehendak mengabaikan keutamaannya.
"Kaum nggege mongso biasanya lali. Lali itu lupa atau bisa dimaknai lebih luas gila. Gila harta gila tahta bahkan gila wanita. Hidupnya nampak penuh kegelisahan, kelakataan dan perbuatan manis sebagai lip service tiada ketulusan," jelas Irjen Pol Prof Dr Chryshnanda Dwilaksana.
Kaum nggege mongso membangun pengeksploitasian sumber daya dengan model pasar. Wani piro oleh piro. Kaum ini akan dianggap dewa karena bagi sana bagi sini untuk mendapatkan legitimasi dan solidaritas.
Yang semuanya semu, floating mass, tidak mempunyai akar rumput. Kaum nggege mongso ini sejatinya sarat supata. Lupa akan sumpah dan janjinya menjadikan karma tiba.
Karikatur maupun kartun di tahun politik dapat menjadi oase untuk berpolitik dengan mesem hati adem ayem. Walaupun ada kritik namun tetap santun dan fun yang digambarkan secara surealis satir karikatural model guyon maton atau guyon parikeno.
Kecerdasan sang karikaturis terlihat pada ide teknik dan kritik tegas namun tetap pada koridor yang humanis dalam penyampaiannya.