Dalam buku “Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme Pada Pemilu Legislatif 2014” disebutkan bahwa pembelian suara adalah praktik yang dilakukan secara sistematis, melibatkan daftar pemilih yang rumit, dan dilakukan dengan tujuan memperoleh target suara yang besar.
Disebut sistematis karena terjadi mobilisasi tim yang masif untuk melakukan pendataan dan menyebarkan ribuan amplop uang, serta bergerilya untuk memastikan penerimanya benar-benar mencoblos pemberi amplop.
Serangan Fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru dan seakan menjadi bagian dari proses demokrasi Indonesia.
Hal ini dibuktikan dari survei LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) pada 2019 yang menyebutkan masyarakat memandang pesta demokrasi itu sebagai ajang “bagi-bagi rezeki”.
Dalam survei tersebut ditemukan bahwa 40 persen responden mengaku menerima uang dari peserta pemilu, tapi tidak mempertimbangkan memilih mereka.
Sementara 37 persen menerima uang dan mempertimbangkan memilih pemberinya.
Tidak hanya dari sisi masyarakat, dari sisi politisi pun serangan fajar telah membangun sebuah tradisi demokrasi yang buruk. Politisi menganggap votes buying adalah sesuatu yang lumrah, mesti dilakukan untuk bisa mengalahkan rivalnya pada pemilihan.
“Terjadi prisoner’s dilemma di antara kandidat. Mereka khawatir pesaingnya akan melakukan serangan fajar, sehingga dia melakukan hal yang sama” kata Amir.
Dampak Buruk Politik Uang
Mempengaruhi pilihan dengan politik uang pada akhirnya akan berdampak buruk bagi masyarakat sendiri.
Praktik ini akan menghasilkan pemimpin yang tidak tepat untuk memimpin.
ilustrasi
Kebijakan dan keputusan yang mereka ambil kurang representatif dan akuntabel.
Kepentingan rakyat berada di urutan sekian, setelah kepentingan dirinya, donatur, atau partai politik.
“Akhirnya figur yang terpilih memiliki karakter yang pragmatis, bukan yang berkompetensi atau kuat berintegritas. Mereka memilih menang dengan cara apa pun, ini bukan sosok pemimpin yang ideal,” kata Amir.
Figur yang terpilih karena korupsi politik ini juga akan mendorong korupsi di sektor-sektor yang lain.
Hal ini terjadi karena figur tersebut mengumpulkan uang “balik modal” yang dikeluarkannya selama kampanye.