Ketikpos.com-- Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali membuat kejutan. Kali ini, giliran Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker), Immanuel Ebenezer atau yang akrab disapa Noel, yang terjerat operasi tangkap tangan (OTT) terkait dugaan pemerasan dalam pengurusan sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
Dalam operasi senyap yang berlangsung Rabu malam, tim KPK bukan hanya mengamankan Noel. Sejumlah pihak swasta dan pejabat internal Kemenaker ikut diamankan, bersama barang bukti yang mencengangkan: tumpukan uang tunai, mobil mewah, hingga motor Ducati yang konon menjadi koleksi pribadi.
Gedung Kemenaker: Tenang di Luar, Tegang di Dalam
Dari pantauan lapangan, aktivitas di luar gedung Kemenaker, Jakarta, masih berlangsung normal. Pegawai tetap keluar-masuk, mesin absensi berdentang rutin, dan kantin tetap ramai pengunjung. Namun, di balik dinding tebal birokrasi, suasana jauh dari kata biasa.
“Semua orang kelihatan bekerja seperti biasa, tapi di hati rasanya berat. Seperti menahan napas bersama,” ungkap seorang pegawai dengan suara rendah.
Suasana senyap itu menjadi cermin tekanan psikologis: ketegangan yang tidak terlihat, tetapi terasa.
Isyarat Keras dari KPK
Penangkapan pejabat setingkat wakil menteri membuat akademisi hukum angkat bicara. Dr. Siti Rahmah dari Universitas Indonesia menilai langkah KPK sebagai peringatan serius.
“Ini bukan sekadar OTT. Pesannya jelas: tidak ada jabatan yang kebal. Namun, tantangan berikutnya adalah konsistensi penegakan hukum. Apakah kasus ini akan tuntas di meja peradilan, atau berhenti sebagai simbol politik belaka,” tegasnya.
Gelombang Politik Mengarah ke Gerindra dan Prabowo
Kasus Noel secara otomatis menyeret Partai Gerindra ke sorotan. Noel adalah kader partai berlambang kepala garuda itu. Publik pun mengingat janji lama Ketua Umum Gerindra sekaligus Presiden, Prabowo Subianto, yang pernah berkomitmen mendorong kader bermasalah hukum untuk bersedia menjadi justice collaborator.
Kini, komitmen itu diuji. Apakah Gerindra akan berdiri tegas mendukung transparansi, atau memilih berlindung di balik argumentasi politik?
Media Sosial: Ruang Sidang Tanpa Hakim