KetikPos.com, Jakarta — Setelah tiga tahun menjadi simbol ketamakan korporasi besar di Indonesia, skandal korupsi minyak goreng (CPO) akhirnya berbuah manis bagi negara.
Sebanyak Rp13,25 triliun uang pengganti kerugian negara resmi dikembalikan ke kas negara oleh Kejaksaan Agung RI, hasil sitaan dari perkara korupsi ekspor minyak sawit mentah dan turunannya yang melibatkan tiga grup raksasa industri sawit: Wilmar Group, Musim Mas Group, dan Permata Hijau Group.
Langkah ini menjadi pengembalian uang negara terbesar sepanjang sejarah penegakan hukum ekonomi Indonesia.
Awal Skandal: Saat Minyak Goreng Menghilang dari Rak Pasar
Kasus bermula pada awal tahun 2022, ketika harga Crude Palm Oil (CPO) di pasar internasional melonjak tajam hingga US$1.628 per ton atau sekitar Rp23,6 juta, jauh di atas harga domestik yang hanya Rp14.250 per liter.
Godaan keuntungan besar mendorong sejumlah eksportir untuk menyiasati kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) — aturan yang mewajibkan produsen memenuhi kebutuhan minyak goreng dalam negeri sebelum mengekspor.
Hasilnya: pasokan di dalam negeri langka, harga melonjak, dan masyarakat kecil menjadi korban.
Di balik krisis tersebut, penyidik Kejaksaan Agung menemukan adanya praktik gratifikasi dan suap kepada pejabat Kementerian Perdagangan, yang bertugas mengeluarkan izin ekspor CPO.
Sebagian pejabat disebut menerima fasilitas dan aliran dana dari perusahaan agar proses izin berjalan mulus.
17 Korporasi Terseret: Dari Wilmar hingga Permata Hijau
Setelah penyidikan panjang dan sidang maraton selama hampir dua tahun, Mahkamah Agung (MA) pada Oktober 2025 menjatuhkan putusan kasasi terhadap 17 entitas korporasi dari tiga grup besar tersebut.
Putusan itu menegaskan:
Wilmar Group dinilai memperoleh keuntungan tidak sah dari ekspor CPO di tengah kelangkaan domestik.
Musim Mas Group terbukti melakukan manipulasi laporan volume DMO untuk menutupi kelebihan ekspor.
Permata Hijau Group dijatuhi denda karena memberikan gratifikasi kepada pejabat Kementerian Perdagangan.
MA menjatuhkan pidana uang pengganti senilai total Rp17,7 triliun, dengan Rp13,25 triliun di antaranya telah diserahkan kembali ke kas negara melalui mekanisme penitipan di Kejaksaan Agung.
Sisanya masih dalam proses eksekusi lanjutan.